HOME | ABOUT | WHAT'S ON MY BOOKSHELF | MOMENTS OF MINE | MY FUN TRIVIA | MY TRAVELOGY | FREEBIES | SNEAK PEAK | MY TWO CENTS | MY LINKS | FAQ

KEPINGAN YANG TERBUANG


Kepingan Yang Terbuang
A Short Story by Nobie



Salman Razif
Aku baru saja mengaduk latteku ketika laki-laki berkacamata dengan kemeja digulung itu menarik kursi lalu duduk begitu saja di hadapanku.
Karen? Kaukah itu?” serunya sambil mencondongkan tubuhnya, menerawangku dari balik kacamata minusnya.
Aku berjingkat hingga gelas latteku terdorong dan tumpahannya meluncur ke arahnya.
“Ya tuhan, maaf! Maafkan aku!” aku panik. “Maaf ya, maaf...” aku sibuk menangkupkan kedua tanganku, memohon maaf.
Dia mengibaskan tangannya. “Ah, tak perlu sungkan begitu. Bukankah dulu kau tak sungkan-sungkan mengguyurku dengan air kopi, teh, atau jus?”
Aku membulatkan mataku. “Ya tuhan! Salman?”
Ya, Salman Razif. Dulu aku sering mengguyurnya dengan minuman di tanganku setiap kali dia melantunkan puisi tentang ombak dan batu karang yang membuatku mual. Kami teman sekelas, tapi aku sudah mengenalnya sejak mengantre daftar ulang di aula kampus pusat. Seperti barusan juga, dulu dia mengajakku berkenalan. Tiba-tiba berdiri menghadangku lalu bertanya siapa namaku. Selanjutnya, hari-hariku dikelabati oleh penampakannya. Tidak di kampus, di kelas, di pertigaan jalan, di kantin, di kopma, di sekretariat, aku selalu bertemu mukanya. Bahkan secara kebetulan, kami berdua hampir selalu mengenakan warna baju yang sama. Aku pun bertambah mual, ketika semua itu menjadi bahan ejekan teman-teman. Dia aktivis di kampus, namun di tengah kesibukannya yang bikin mampus itu, dia masih sempat membanjiri inbox-ku dengan gombal-gombal tentang ombak dan batu karang itu. Hingga puncaknya, pada suatu hari, dia menulis ombak dan batu karangnya itu di majalah kampus, lalu sejak itu dia menghilang sendiri dari permukaan. Sejak saat itu pula, aku jarang sekali menemui wajahnya. Lalu tiba-tiba dia muncul di koran, majalah, jurnal, dan TV nasional sebagai politisi muda yang sedang dielu-elukan.
“Abi, mau roti bagel, nggak?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba muncul di hadapan meja kami sambil menenteng anak balita. Ketika aku menoleh ke arahnya, perempuan manis berkerudung itu mengangguk ke arahku sambil tersenyum ramah.
Ah, ombak dan batu karang kini sudah tinggal sejarah. Sejarah perjuangan Salman hingga dia menemukan cinta sejatinya. Kini Salman Razif telah menikah muda dengan seorang anak rektor sebuah institut negeri terkemuka, dan mereka telah dikaruniai seorang putri yang sangat lucu bernama Yasmin Razif. Ah, kamu telah mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku, Man. Ya, kadang kita harus melepas sesuatu agar sesuatu yang lebih baik datang.

Iksandriya Putra
“Saya sudah transfer tunggakan itu beberapa pekan yang lalu, kenapa masih dicatat di tagihan ini?” tanyaku sebal pada teller lembaga finance sebuah bank nasional itu. Aku benar-benar sudah susah payah mengumpulkan cicilan kredit mobilku itu. Tapi mereka selalu menganggap remeh kesalahan sebesar itu dan bahkan tidak begitu memperhatikan ledakan emosiku.
“Ya, sebentar, Ibu. Saya hubungkan dengan manajer kami. Mohon ditunggu sebentar,” jawab teller itu menenangkanku sambil memenceti tuts telepon.
“Oh, ya, baik, Pak,” dia menutup teleponnya dan menatapku lagi. “Ibu bisa menemui Pak Sandy di lantai dua. Silakan.”
Aku tidak mencurigai nama itu sebelum aku benar-benar menaiki tangga ke lantai dua, mengetuk pintu sebuah ruangan dan melihat seorang laki-laki muda berdasi sedang menunduk, mengetik sesuatu di mejanya.
Iksandriya Putra. Anak kecil itu. Dulu aku pernah sebal setengah mati karena dia memanggil namaku mentah-mentah tanpa embel-embel ‘Kak’ atau ‘Mbak’ padahal dia angkatan dua tahun di bawahku. Tentu saja aku merasa harga diriku turun karenanya, apalagi saat itu aku berada satu divisi di organisasi kampus yang sama dengannya. Sebalku bertambah saat dia selalu berlaku seolah beberapa abad lebih tua dariku. Dia tak segan bilang, “Wah, kamu tuh perlu diajari yang satu ini...” atau “Nah, tahu kan salahnya dimana? Jangan diulangi lagi ya...” Hingga aku merasa tak berkompeten pada angkatan setua itu. Sehingga, jika kami berdebat, yang terjadi bukanlah mencari kebenaran, tapi saling menjatuhkan. Namun suatu hari sikapnya berubah, dia tiba-tiba datang mengemukakan hal yang membuatku ingin berlari ke kamar mandi dan muntah di sana. “Karen, aku mencintaimu...” Ya, itulah untuk pertama kalinya dia berdamai denganku. Tapi bukannya aku jadi bersimpati padanya, aku justru semakin mual padanya.
“Kak Karen!” pekiknya. “Apa kabar?”
Entah mengapa, aku sedikit kecewa dia benar-benar memanggilku kakak sekarang. Iksandriya kini lebih tua dari yang aku kenal dulu, tapi justru itu, dia sekarang tampak lebih bijak, berkharisma, dan jauh lebih dewasa dan tampan dari Iksandriya yang menyebalkan dulu.
“Kesibukan apa sekarang, Kak?” tanyanya.
“Aku sekarang gabung di sebuah bisnis milik teman sambil masih nyambi kuliah juga di Zaenal Ngabidin...” aku menyebutkan nama sebuah universitas swasta tempat aku menyelesaikan skripsiku.
“Oh, ya? Sekampus sama Nimas dong?”
“Oh, Bu Nimas yang dosen muda itu? Kakak kamu?”
“Oh, bukan. Dia kan angkatan di bawahku.”
“Lalu? Pacar?” tanyaku tak sabar.
Iksandriya mengangguk tersipu.
Oh, tuhan, bahkan kekasihnya menjadi dosen di kampus baruku setelah kepindahanku dari kampus lama karena skripsiku tak kunjung selesai. Aku semakin hancur, apalagi mengingat sekarang aku sedang duduk di hadapannya sebagai klien bad debt-nya.

Ferdiky Dwyawan
Laki-laki yang sempat bertabrakan mata denganku di celah rak buku di Kinokuniya itu sekarang mengantre lift. Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya turut berjejalan masuk ke dalam lift. Dari balik punggung orang, aku dapat melihat separuh wajahnya. Ah, benar, Ferdiky Dwyawan. Dia teman SMA-ku. Kelas kami bertetanggaan. Jadi, aku sering melihatnya saat kami tak sengaja sama-sama melongok ke jendela, berpapasan saat ke kantin atau pulang sekolah, dan saat dia selalu lupa membawa jarum kompas pada jam Matematika Dimensi Tiga lalu meminjam punyaku. Lama-lama, dia tidak hanya meminjam jarum kompas, tapi juga pulpen, penggaris, kalkulator sin cos tan, dan buku. Hingga suatu hari, buku Fisikaku kembali dengan secarik kertas bertabur gambar Hello Kitty. Aku tidak perlu menceritakan isinya, semua orang di dunia pasti sudah tahu  scarlet letter semacam itu berisi apa. Aku tidak pernah mengatakan ‘iya’ untuk sebuah pertanyaan di surat itu, tapi aku selalu mengiyakan ajakan makan siang di kantin atau jalan ke mall bersamanya. Dan sepanjang bersamaku itulah dia hanya teronggok di sampingku seperti es batu. Sedangkan aku sendiri bukanlah tipe gadis girang yang selalu menjadi pemandu sorak, aku sering malas bicara jika tidak ditanya duluan. Tapi bersama dirinya, aku jadi lebih murah tanya sedangkan dia hanya menimpali ‘ya’, ‘tidak’, atau sesekali tersipu seperti gadis pingitan. Lama-lama kesabaranku habis. Aku pun menulis surat kepadanya dengan tinta berwarna merah. Membuat daftar keburukan yang tidak aku sukai darinya hingga dua halaman folio.
TING! Lift terbuka. Aku pun ikut turun di lantai ini untuk mengekornya. Yakin, aku mau menguntitnya? Ah, tak apalah, aku juga sekalian mau pulang. Tapi kan aku tidak bawa mobil hari ini? Mobil bekas sialan itu sekarang di bengkel. Ah, jalan saja, pura-pura lewat parkiran, barangkali malah dapat tebengannya.
Oh, ya, Tuhan, dia membuka pintu SUV keluaran terbaru berplat merah itu. Jadi, dia orang penting di kota ini? Oh, mungkin Ferdiky ini yang sedang ramai diberitakan menjadi anggota dewan termuda di kota kelahiranku. Astaga, Ferdiky Dwyawan. Aku yakin dia terpilih bukan karena luwesnya pergaulan sosialnya, tapi karena ketampanannya. Ya, Ferdiky begitu tampan. Aku harus menyapanya sekarang.
“Diky!” seruku nyaring.
Dia menengok dari balik kaca mobilnya. “Ya?”
“Hai, Dik, apa kabar?” tanyaku girang sambil melambai ke arahnya.
Matanya berputar-putar. “Hmm, maaf, siapa ya?”
Seketika aku merasa wajahku seperti tersengat listrik.
“Oh, maaf, kukira...maaf, maaf, saya salah orang,” kataku akhirnya sebelum aku lebih lama menahan malu karena sikap sok kenal yang baru saja kuperbuat.
Ferdiky, mungkin sudah lupa denganku, atau lebih tepatnya sudah melupakanku. Aku memang pantas mendapatkan kebodohan barusan mengingat rasa sakit yang pernah kutorehkan padanya.
Fardan Kautsar
Aku mengaduk tasku dengan panik sementara pramuniaga telah selesai memasukkan semua barangku ke mesin barcode. Matilah aku. Aku lupa membawa dompetku. Sedangkan aku sudah mengisi trolley itu hingga penuh. Mau kulempar kemana mukaku ini?
“Oh, maaf, dompet saya...ketinggalan. Bisakah belanjaan itu disimpan dulu? Saya akan segera kembali,” kataku sambil berpikir bahwa apa yang kukatakan ini sungguh mustahil. Jarak mall ini ke rumahku saja tak cukup satu jam.
Tanpa jawaban, pramuniaga itu mencabut cetakan struk dari mesin lalu menyobeknya dengan kesal.
Aku menengok antrean panjang yang mengular di belakangku. Aku kira mereka semua tak kalah kesal dengan pramuniaga itu karena menunggu belanjaanku yang segunung.
Aku mengangguk permisi ke belakang dengan ribuan kilo urat malu. “Maaf, per...”
“Sayang, udah belanjanya?” tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku. “Berapa? Oh, ya...” pangeran antah-berantah itu melunasi dua tas besar belanjaanku.
“Mas Fardan!” teriakku tak percaya.
“Haha, kamu nggak berubah ya. Masih tetap kayak dulu. Pikunan, haha. Ngopi yuk, biar melek,” ajaknya lalu kami duduk berdua di kursi couple sebuah coffee shop.
“Mas Fardan gawe di mana sekarang?” tanyaku.
“Di Bandung. Bikin usaha kafe tongkrongan,” jawabnya.
“Keren!” seruku, mengacu pada penampilan dan tampangnya sekarang. Ya tuhan, Fardan Kautsar yang kukenal dulu mempunyai selera fashion yang buruk. Aku masih terngiang dengan sweater turtle neck berwarna merah terang dan rambut mangkuk bakmi-nya dulu. Hal itulah yang dulu tak bisa kuterima. Namun sekarang, aku malah berpikir, dengan keadaannya sekarang, apakah dia masih memujaku seperti dulu? Ya, dulu dia sering memanggilku ‘Bidadariku’, ‘Mahadewiku’, dan panggilan-panggilan yang berlebihan lainnya. Dan aku tak suka laki-laki yang bersikap terlalu murah di hadapan perempuan. Tapi Fardan Kautsar sekarang? Berwibawa, tampak cerdas, ramah dengan cara yang elegan, penuh pesona....ah, segalanya. Secara, dia adalah seorang pengusaha sekarang.
“Ren...”
“Ya?”
“Habis ini kamu sibuk nggak?”
“Hmm, nggak, kenapa?”
Dia menggaruk-garuk tengkuknya. “Hmm...pulang bareng aku ya?”
Jantungku mulai berkejaran. “Oh, ya, boleh. Sekalian nanti aku mau bayar utang belanjaan yang tadi, haha.”
“Oh, bukan itu kok. Udah, lupain aja yang itu...”
Aku pun melambung setengah ternganga. “Hah?”
“Aku mau...aku mau ngajak  kamu....” mukanya tampak semakin rikuh. “Aku mau ngajak kamu ke toko perhiasan...aku bingung cari cincin buat tunangan aku, kamu mau nggak, nemenin aku?”

Rajandra Caraka
Hujan di tengah angin ribut membuatku merapatkan sweater rajutku. Aku terus menggosok tanganku agar badanku terasa lebih hangat. Tapi seseorang tanpa mantel yang baru saja turun dari motor buntungnya itu membuat aku tak peduli dengan dinginnya kota hujan ini. Aku beranjak dari kursi halte dan menjatuhkan sweater dari punggungku.
“Jangan!” teriaknya. “Tetap di sana!”
Aku pun bersabar menunggu di pinggir halte. Sementara dia berlari menuju ke arahku dalam keadaan basah kuyup.
“Kenapa nggak jemput setelah hujan reda saja, Raka?” tanyaku hampir menangis.
“Aku janji menjemputmu pukul tiga...” jawab lelaki bermata cekung itu sederhana. Badannya semakin kurus saja hingga hidungnya terlihat terlalu panjang, rambutnya mulai gondrong, dan, sumpah mati, dia mengenakan kaus yang sama sejak 3 hari yang lalu. Tak akan ada yang mengira bahwa dia dulu adalah seorang prince charming, campus ambassador, tenar, digandrungi, sempurna. Semua yang tak ada pada semua cowok yang kuragukan, ada pada dirinya. Ah, roda yang selalu berputar adalah hukum alam. Sebentar di atas, sebentar di bawah. Tapi tidak dengan cintaku padanya.  
Aku mendongak menatap wajahnya, dia menatap di atas wajahku. “Ren...apakah kau masih mencintaiku?”
Aku mengusap rambut yang berceceran di dahinya. “Selalu ada alasan untuk mencintaimu...”

No comments:

Post a Comment

Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)