Seonggok Gunung
a Short
Story by Nobie
Mencintaimu
adalah seonggok gunung di punggungku. Ya, gunung yang harus kupikul karena aku
mencintaimu. Gunung setinggi Semeru yang bertumpuk di atas kepalaku hingga aku
tak bisa menengadahkan wajahku dengan tegak ketika aku harus bertemu mereka.
“Nggak salah, Boy?” celetuk Malena, teman yang satu management denganmu sambil menatap ujung
sepatu kets-ku yang jebol.
“Oh, maaf, maksud
aku...nggak salah nih, tumben kamu mau datang, Fic....” ralat Malena.
Ya, tak apa, Malena...namanya
juga keceplosan. Tapi seharusnya kamu tak perlu minta maaf seperti itu, karena
permintaan maafmu itu justru seolah menjelaskan maksudmu yang sebenarnya. Dan,
oh, Ficar, baru saja beberapa langkah kamu menggandengku menjauh dari Malena,
Duo Lolita, Lolly dan Jelita menyambut kita.
“Ficaaarrr, apa
kabaaarrr?!” teriak yang bernama Lolly.
“Mana Syeren?”
tanya yang Jelita. Dan Lolly menyenggol lengannya.
“Oh, maaf,
kirain...” kata Jelita sambil memandangiku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Ya, Jelita, kau kirain aku apa? Apa ya? Kucel, udik,
gentayangan di samping Ficar. Apaan,
coba? Ya, aku bukan apa-apa. Tapi bagi Ficar, jika kau berkata apa, baginya aku
segalanya.
Tapi jangan
kalian kira aku girang mendengarnya. Saat kalian memandangku aneh, beban di
atas punggungku semakin menggunung rasanya. Saat kalian ungkit-ungkit Syeren
Juanita yang aktris, top model dan penerima tahta Hotel Clinton itu, ah, ya
Tuhan, gunung itu semakin bertumpuk-tumpuk. Ya, saat dia lebih memilihku
daripada Syeren Juanita, bagiku adalah keputusan yang menjadi beban
bergunung-gunung di punggungku. Keputusan yang mereka bilang sebagai keputusan
terkhilaf sepanjang masa dari Ficar Adiaksa yang aktor dan putra mahkota
kerajaan bisnis Deal Telecom itu adalah beban seonggok gunung bagiku.
***
“Oh, tidak!”
pekikku.
Semua orang di
perjamuan bistro itu saling pandang dengan mata berputar saat daging itu
meloncat dari piringku. Kaupun mengganti dagingku dengan daging di piringmu,
memotongnya, lalu menyuapkannya ke arahku. Dan semua tatapan pun tersedot ke
arah kita. Ficar benar-benar udah sakit
jiwa. Seperti itulah mungkin tatapan itu berkata. Lalu satu per satu
keluarga besarmu, dimulai dari adik perempuanmu, kakak iparmu, hingga nenekmu
beranjak dari kursinya masing-masing. Mereka semua mengakhiri meja perjamuan
itu tanpa suara.
Kenapa mereka
begitu membenciku? Bukankah menjadi orang
jelek itu adalah hakku? Bukankah menjadi orang ndeso itu bukan salahku? Namaku Hayu Dianingtyas. Cah ayu hadiah ning tyas. Ya, kata ayah
ibuku, aku ini anak cantik yang menjadi hadiah di hati. Tapi kenapa tak
berkenan di hati mereka?
“Aku ndeso, bahkan tak tahu caranya pake
pisau dan garpu. Kenapa sih, kau masih saja ngotot sama aku?” tanyaku putus asa.
“Ya gara-gara ndeso-mu itu aku kepincut,” katamu
sambil mengusap kepalaku. “Aku bosen makan pake pisau sama garpu, mendingan
langsung pake tangan kayak kamu. Jadi wong
ndeso itu enak, nggak ribet.”
Ah, kau selalu
bisa membuatku berdiri tegar menahan gunung ini. Gadis ndeso mana yang tak kan luluh mendengar katamu.
***
Seorang gadis
berkacamata hitam dengan gaun chiffon
yang terbang ditiup angin baru saja turun dari kuda jingkrak keluaran terbaru. Dia melepas
kacamatanya sesaat sebelum dia berjalan ke arah kita berdua.
“Hai,” katanya
pendek dengan tawa kecil yang tersimpul di bibirnya yang berwarna merah cherry.
“Hai, Syer,”
sahutmu datar.
Gadis itu
menyisihkan beberapa helai rambut yang jatuh di matanya lalu memandangku
sekilas dengan sebelah matanya dan berkata, “Kayak kenal ya?”
“Tentu saja.
Kalian kan udah kenalan waktu acara gathering
kemarin lusa...” jawabmu.
“Oh, ya,
maaf....habis mirip kayak yang pernah kerja di rumahmu ya, Fic, yang....oh,
astaga, maaf, maaf...Mmm, maksudku nggak seperti itu, maksudku....” katanya
tampak panik dengan ucapannya yang entah sadar atau tidak itu.
Yang pernah
kerja di rumahmu? Siapa lagi kalau bukan bibi-bibi, tukang kebun, atau satpam?
Pasaran sekali mukaku.
“Dia emang kerja
di rumahku kok, Syer,” tukasmu. “Bikinin aku kopi tiap pagi dan ngurus
anak-anak kami kelak. Dia akan jadi ibu rumah tangga di rumahku. Yuk, Syer,
kami duluan ya...” Kamu pun membukakan pintu untukku lalu kita melesat
meninggalkan parkiran bodoh itu.
Oh, ibu rumah
tangga mana yang tidak akan melambung karena pemimpin rumah tangga yang sebijak
itu? Kamu selalu bisa membuatku menahan beratnya gunung ini, Sayang.
***
“Ficar, Ficar! Ngobrol
sebentar dong, Ficar....” rajuk beberapa pemburu berita gosip untuk meminta klarifikasi tentang putusnya
kamu dengan Syeren Juanita. Kamu pun hanya melempar senyum sambil terus
berjalan menerjang kerumunan. Aku pun tertinggal karena kakiku sempat terinjak-injak
serombongan orang-orang ribut itu. Segitu tidak pentingnya diriku.
Sampai-sampai mereka menganggapku kerikil yang menghalangi langkah mereka untuk
mengejarmu.
Tiba-tiba
tanganku ditarik. Aku dibawa naik ke atas undakan di depan sebuah pusat
perbelanjaan itu.
“Ficar!” seruku
sambil bersembunyi di balik badanmu. “Nggak mau, bawa aku turun lagi!”
Alih-alih kamu
mengabulkan permintaanku, kamu malah berteriak dari atas sana. “Ini jawabannya!”
Lampu flash kamera pun mengerjap-ngerjap
hingga menyilaukan mata.
Ah, ini
memperberat pikulan gunungku, Ficar...
***
“Sayang, aku
kira kemeja ini lebih cocok dipake sama kamu,” kataku pada Ficar yang meminta
saranku tentang baju yang akan dipakainya pada acara pensi sekolah kami.
“Ya ampun, Yu, lo
kan ndeso, mana punya taste tentang fashion? Haha, belum ngaca kali, lo,” sahut
Tania, “Udah deh, Fic, lo tuh bakal cakep pake apa aja. Karena emang dari sononya
lo udah keren, nggak kayak gedebok pisang di samping gue ini, haha. Tapi lo
lebih berharga dari taneman gelombang cinta, Yu, hahaha.”
Ah,
Ficar.....Tania, sahabat terdekatku saja bilang begitu. Aku tahu niatnya memang
bercanda, tapi tidak akan menjadi bercandaan lagi jika kata-kata itu ditujukan
padaku. Bercandaan yang membuat aku ingin terjun dari jendela setiap kali
mendengarnya. Ya, Tania bilang, badanku kaku, kalau jalan seperti besi egrang,
tidak seperti si Gelombang Cinta yang langganan berlenggok di atas catwalk itu. Baju-baju yang kupakai
sudah bulukan seperti kain gombal yang cocoknya dibuat kain pel, tidak seperti
gaun sutera yang bisa terbang bergelombang ditiup angin seperti yang dipakainya
kemarin. Mukaku pucat seperti tepung, tidak seperti mukanya yang berkilau
seperti kristal ditimpa cahaya. Ya, Ficar, aku ini cewek yang tidak bisa jalan
dengan gemulai, apalagi pakai hak tinggi, bisa-bisa aku terjerembab masuk
selokan seperti waktu itu. Ya...
“Ya, kalau Hayu
gedebok pisangnya, aku pelepahnya,” sahutmu. “Kalau lu nyayat gedebok pisang,
berarti lu melukai pelepahnya juga. Lu mau cari masalah sama pelepah pisang,
Tan?”
Ah, pelepahku,
kamu selalu bisa melindungiku dari tajamnya pisau. Kamu selalu bisa meringankan
beban lukaku. Membuat gunung di punggungku terasa lebih ringan.
***
Banyak yang Sayangkan Keputusan Ficar
Begitu bunyi headline di sebuah tabloid.
Aku ingin
menjadi Syeren Juanita saja, Ficar. Meskipun dia sudah keluar dari kehidupanmu,
dia tetap terbawa bersamamu, dia tetap menjadi yang terpuja sebagai seorang
Cleopatra yang terlalu berharga untuk kau campakkan.
Aku menatap
bayanganku di cermin lekat-lekat. Gaun sutera ini sudah mengubahku sembilan
puluh derajat. Aku pun mulai memulaskan perona ke bibirku, lalu ke mata dan ke pipiku.
Aku tenggelam dan hilang. Aku telah berubah sama sekali.
Sebuah tangan
bergerak melewati wajahku, mengusap bibirku.
“Kumohon,
jadilah Hayu Dianingtyas seperti yang kukenal. Aku tak mengenalmu jika kau
seperti ini. Yang kulihat sekarang adalah seorang gadis yang serupa dengan
ribuan gadis di jagat raya. Buat apa aku memilihmu kalau kamu sama saja seperti
mereka. Aku memilihmu karena kamu berbeda. Aku ingin Hayu. Dimana Hayu
Dianingtyasku?”
Oh, Ficar
Adiaksa, aku tak punya alasan satu pun untuk tidak tetap bertahan. Aku di sini.
Aku akan tetap di sini. Memikul semua beban ini. Seberat apapun gunung di
punggungku nanti.
No comments:
Post a Comment
Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)