Flashberry (Rajendranjali) is a trilogy. It's written in Indonesian and a bit of Javanese as this story based on my exciting experience of KKN (Kuliah Kerja Nyata) in Sidoarjo a few years ago. But it doesn't mean it tells my own life, not at all. All the stories and figures are fictive. Please note this :) I just thought that the setting is rare to find, thus I could reach something unique in it. Hope you'll like it :)
Not like typical novel, it is told by two point of views: Rajendra and Anjelie. And both are interacted in correlated stories as if each chapter is just like a heart's dialogue.
GRAB IT FOR FREE!
This novel has not been published yet. As of today, I'd like to share it free before it's published. This means you can download each chapter for FREE this time. The novel consists of 300 pages, 35 chapters and an epilog. The files you'll download are entirely in PDF format. Enjoy! :)
Flashberry (Rajendranjali)
a Novel by Nobie
Puing-Puing di Negeri Awan
DOWNLOAD
Anjelie:
"Aku mencabut cetakan foto dari kamera polaroid Instax-ku, menyandarkan punggungku ke
sisi pintu yang terbuka sambil mengibaskan kertas film di tanganku, lalu
mengamati foto yang tercetak sambil meletuskan balon dari permen Wrigley’s
Airwaves di mulutku. Aku baru saja memfoto kertas berwarna hijau berukuran postcard yang kutempel di tembok tiga
tahun yang lalu berisi tulisan dialog antara Alice Kingsley dan The Mad Hatter:
This is impossible. Only if you believe
it is. Kertas itu belum dipretel dari tempatnya, mungkin pemilik kamar ini
ikut tersentuh dengan potongan kalimat dari Alice
in Wonderland itu...."
Rajendra:
Aku tentu bukan Andy Dufresne di Shawshank
Redemption yang melubangi tembok penjara dengan palu hingga membuat lorong
keluar untuk melarikan diri. Aku justru menikmati penjaraku seperti Brooks yang
menganggap penjara adalah dunianya. Dan ketika dia dibebaskan dari penjara, ia malah
bunuh diri karena di dalam penjara ia menjadi orang yang bernilai, tapi tak
berguna di luar itu.
Ya, aku seperti berada dalam penjara karena namaku
tercatat di sebuah jaringan filantropi dan institusi think tank yang membuat aku terikat pada kesibukan-kesibukan yang
menyangkut dunia internasional, di saat anak-anak muda seusiaku hidup penuh
kebebasan di luar sana. Menjadi remaja-remaja labil yang menggandrungi sesuatu
seperti wabah hingga meledak menjadi epidemi yang tak bisa disembuhkan. Mengantri
tiket konser band asing kesayangannya,
nongkrong, clubbing, atau sekadar keluyuran
di akun-akun jejaring.
Tapi aku menikmati penjaraku. Karena di dalamnya, aku bisa turut mengubah dunia. Aku memang bukan Pangeran Alwaleed bin Talal atau
Sir John Templeton yang bisa menyumbangkan kekayaannya untuk perdamaian dunia
dan kemajuan umat manusia di bidang ilmu pengetahuan, atau bahkan bankir
seperti Rothschild atau trader
seperti Soros yang menata peta politik dunia dengan mesin uang mereka, tapi aku
mempunyai peran seperti lilin yang berpendar di kegelapan, yang aku pikir jauh
lebih bermakna daripada sekadar mengangguk-anggukkan kepala mengikuti hentakan
musik DJ di pesta-pesta bodoh yang tak masuk akal.
Do you imagine that you will like it so far? Get the complete chapter for FREE!
DOWNLOAD CHAPTER 1
Pangeran dan Kapur Barus
DOWNLOAD
Anjelie:
Aku mentraktir Hilmar makan
malam di warung sego sadukan
di antara remang lampu teplok. Hanya sementok itu kemampuanku. Tapi putera
mahkota kerajaan trading itu tak pernah merasa keberatan aku ajak
menggembel seperti itu.
“Baru pulang kuliah, Nak?” sapa
pemilik warung langganan kami. Bapak paruh baya dengan belahan rambut Superman
di dahi itu bernama Pak Wagimun.
“Sudah pulang dari siang tadi,
Pak,” Hilmar mengambil dua bungkusan kecil nasi, dan memberikan satu untukku.
“Muter-muter dulu nganterin ...
nih,” Hilmar menjitak kepalaku. “Disuruh kuliah mokong.”
Pak Wagi tertawa lebar hingga
giginya tampak berbaris seperti gerbong kereta.
Aku ikut tertawa dengan Pak
Wagi sambil menendangi sepatu oxford
Salvatore Ferragamo milik Hilmar.
“Tuh kan, gimana sepatu lu nggak suka
jebol-jebol." lengan bajuku ditarik. "Orang kakinya nggak disekolahin!” dia mencopot sebelah sepatunya dan mengelapkan sepatunya ke lengan bajuku.
Aku memukul tangannya. “Iya,
iya! Habis ini nggak akan ada lagi yang nyusahin kamu ... sebulan penuh!”
seruku. Aku ingin menangis ketika sampai pada kata ‘sebulan penuh’. Menyadari
waktu yang begitu lama berada di tempat asing saat KKN nanti.
Hilmar menurunkan sepatunya.
Dia terdiam beberapa detik untuk kemudian merogoh saku kemeja Armani-nya, lalu
menjembreng surat resmi berkop asing di depan mukaku. “Quelle bonne surprise, mon vieille!”
Di sana tertulis, Hilmar Althaf
Adiaksa diterima bekerja di sebuah perusahaan sistem informasi di sebuah negara
berlambang Union Jack.
“Kenapa harus
negara ini?”
“Pourquoi pas?”
“Kenapa tidak Paris? Bukankah
kau menetas di sana?”
“Paris? Non, merci. Keluarga gua yang tersisa di sana masih bertebaran dari
Marseille hingga Loire. Gua nggak mau diawasi. Dan lu tahu, Britain sangat
ramah, mengingatkan gua sama keramahan orang-orang di Solo bahkan. Sedangkan
Prancis sebaliknya, sangat snob.
Bukan tempat yang baik buat fresh
graduate seperti gua.”
“Lalu?”
“Gua mau nyolong pengalaman di
perusahaan kolega Papa itu barang satu atau dua tahun. Setelah itu, gua mau
buka sendiri. C’etait superbe! Muka
gila, ini cita-cita gua sejak lama!” katanya girang.
“Yah ... siapa yang nganterin aku KKN nanti?”
tanganku ingin meremas kertas itu.
“Dianterin sama doa ....”
Hilmar menepuk-nepuk kepalaku.
Aku melempar tangannya dari
kepalaku. “Kamu nyuruh-nyuruh aku KKN, tapi kamu malah kabur ke UK!”
Aku memandang sebal ke arah
sambal goreng yang baru saja ingin kusendok tapi tak jadi. Ternyata hari itu
berakhir dengan berita yang menonjok hatiku hingga monyong.
Tiba-tiba air dari pelupuk mataku
merembes keluar mengaburkan mataku. Aku tidak tahan. Aku biarkan meluncur turun
hingga wajahku basah.
Hilmar hendak menyeka air
mataku, aku segera menangkisnya. Bagaimana tidak, dia mau mengelap mukaku
dengan serbet meja warung.
Sudah tiga tahun berlalu, tempat
itu kini berganti dengan papan besar yang dipancang, bertulis: Dilarang
Berjualan Disini.
Do you like it so far? Get the complete chapter for FREE!
DOWNLOAD CHAPTER 2
Perjumpaan di Alur L'Amour
DOWNLOAD
Rajendra:
Remah-remah bayangan itu tiba-tiba menyerbu
secepat gerimis yang memercik.
Aku mempercepat gerakan windshield wiper kaca mobilku, berharap bayangan itu segera tersapu
dari otakku bersamaan dengan tersapunya rintik gerimis yang merintik kaca. Namun hujan malah
mengguyur hingga mengaburkan pandanganku dan bayangan itu semakin jelas
berpendar di dalam kepalaku.
Aku bertemu dengannya pertama kali di toko buku
itu. Toko buku di Pucang yang aku kunjungi selepas dari perjalanan pertamaku ke
Desa Krajan. Aku tak pernah merencanakan pertemuan dengannya. Kami hanya
bertemu begitu saja. Tidak ada yang kupikirkan saat itu selain judul-judul buku
Stiglitz, Rawls, Nietzsche, dan Hegel saat mengaduk-aduk rak politik dan
filsafat, mengambil sebuah buku dari rak itu, membolak-balik halamannya, lalu
terdorong untuk berjalan ke arah kasir. Entah mengapa, aku melihat jam tanganku
saat itu. Ketika pandanganku kembali ke depan, aku berjingkat melihat seseorang
berjalan dengan langkah cepat sambil melamun. Aku menggeser jalanku, takut
menabraknya karena dia tak melihat jalan. Tapi aku tak menyangka wajahnya
berubah kesal ketika menyadari aku sedang memperhatikannya. Aku memaksakan
sebuah senyuman dengan bibir sebelah. Setelah itu, aku selalu berpikir,
seandainya aku bisa memutar waktu, aku ingin menabrak orang itu.
Anjelie:
Mataku menyusuri serat kayu meja di bawah
daguku. Membayangkan peta kehidupanku di sepanjang alurnya. Aku pikir, aku tak
perlu memutar waktu. Aku hanya perlu mengikuti alur-Nya. KKN adalah sebuah alur
yang harus kulewati. Dan tuhan tak pernah salah menyusun alur untukku.
“... Rajendra, ini Anjelie. Anjelie, ini Rajendra
....”
Suara Talitha lamat-lamat menembus selaput
pendengaranku. Rupanya ada orang yang baru datang. Aku segera menegakkan
kepalaku yang terkulai, mengangguk kecil sambil tersenyum ke arah orang di
sebelah Talitha. “Hai ....”
Dan orang yang tampak sedang sibuk membolak-balik
buku catatannya itu tak tersentak sedikitpun untuk menyahut sapaanku seperti
telinganya terbuat dari pantat panci.
“Jendra ... tolongin nih, masih ada dua, aku
nggak tahu harus dikasih ke siapa ....” Talitha menyerahkan dua jilid proposal KKN
kepada Jendra.
Dan, blub ... blup ... blup ... Jendra
menjelaskan panjang lebar tentang sesuatu seperti pidato kenegaraan. Aku
bersumpah tidak akan pernah memperhatikan apa yang dia bicarakan.
Setelah sebuah pidato sepanjang tol Cikampek
itu, Talitha menyambung pembicaraan tentang barang-barang yang harus dibawa di
hari penerjunan. Aku duduk melipat tangan di atas meja sambil menatap bengong
sebelas orang yang mengelilingi meja rapat. Aku belum berkenalan dengan mereka
semua kecuali dengan Talitha dan si ‘blub-blub’ tadi, karena ini adalah rapat
KKN pertamaku, dan aku terlambat datang.
“Kelompok ini isinya berapa orang?” aku
berbisik ke sebelahku.
“Delapan belas. Ada beberapa nggak datang. Kamu
baru masuk?” tanya orang di sampingku sambil mengusap-usap dagunya lalu
wajahnya tampak berpikir.
“Ya. Sebenarnya aku angkatan KKN tahun kemarin,
tapi baru ikut sekarang,” kataku.
“Oh ... tuh cewek-cewek,
mereka juga angkatan kemarin semua,” dia menunjuk lima orang cewek yang duduk
berderet di depan kami.
Mereka yang ditunjuk serentak menoleh dan
tersenyum ke arahku. Aku menjulurkan tanganku ke tengah meja, dan mereka
menjabat tanganku secara bergantian, hingga aku mengetahui nama-nama mereka:
Jehan, Dannis, Ocha, Tisha, Ning. Dan orang di sebelahku itu bernama Alka. Aku
juga berkenalan dengan teman-teman kelompokku yang lain bernama Zaki, Mario,
dan Dimas. Hingga tak kusangka kegiatan perkenalanku itu membuat berisik.
Would like to read more? Get the complete chapter for FREE!
DOWNLOAD CHAPTER 3
Detik Sebelum Lonceng Berbunyi
DOWNLOAD
Rajendra:
Aubre keluar dengan rambut mabul seperti
dakron. Dia mengelap kacamata dengan ujung piyamanya sebelum menyangkutkannya
di hidung kemudian berjalan ke arah pintu pagar dengan suara sandal
diseret-seret sambil tak henti-hentinya menguap.
“Tumben pinter ....” aku bergelayutan di
jeruji. Senang setengah tak percaya bisa membangunkannya.
“Mas Jen tuh yang nggak pinter-pinter. Pulang
malem nggak sembuh-sembuh.”
“Aku bawain roti kutu, Bre ....” aku berusaha
menghentikan suara berisiknya dengan memberitahunya oleh-oleh penyumpal mulut
yang telah kubawa.
Aubre
berkali-kali salah memasukkan mata kunci hingga rangkaian kunci jatuh
bergemerincingan sebelum akhirnya ia mendorong pintu garasi hingga menimbulkan
suara menggelegar.
Aku sangat menyayangi
adik yang kumiliki itu. Walaupun kami sering cela-celaan, aku tidak bisa hidup
tanpa sehari saja mendengar sumpah serapahnya. Aku dan Aubre
tinggal di rumah ini berdua. Orang tua kami menetap di Prancis. Aubre lahir di sana, tapi sejak SMP
dia tinggal bersamaku karena pekerjaan ayah kami sebagai duta besar untuk negara Asia dan Eropa membuat keluarga kami terus berpindah-pindah ke berbagai
negara. Aku sendiri lahir di Kediri, sebuah kota kecil kelahiran eyang buyut
kami dari jalur silsilah ayah, dan semenjak SD aku tinggal di Surabaya hingga
sekarang. Hanya saja, sebelum aku menempati rumah baru tak jauh dari kampusku
ini, aku tinggal bersama kakek-nenekku di sebuah rumah bergaya kolonial yang
menyeramkan di kawasan Biliton.
Anjelie:
Sinar matahari mulai merambat di
permukaan kaca jendela di mana aku menyandarkan kepalaku. Aku tergagap bangun
dari lamunanku. Aku sudah sampai di Stasiun Kiara Condong. Dari balik kaca
jendelaku, aku melihat seseorang melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Memang
tidak sulit menemukanku. Karena aku selalu memilih tempat duduk di samping
jendela. Dia tahu itu.
“Ça va,
ma belle ...,” dia memunguti
barang-barang bawaanku yang bertumpuk di bawah kursi. “Kenapa, sih, harus pakai
kereta? Yang kayak beginian, lagi.”
“Kamu itu jadi orang ora ndeso blas,”14
sahutku.
“Bon, écoute-moi,
dengar ... setelah proyek direktori online
itu kelar, aku nggak akan biarin kamu gentayangan sendirian kayak gini,”
katanya sambil mengusap kepalaku. “Berjanjilah, jangan berbuat seperti ini lagi
padaku.”
Tiga tahun berlalu, dan beberapa hal telah
berubah. Hilmar tidak lagi berbicara padaku dengan bahasa ‘lu-gua’ seperti
dulu, karena sebuah cincin yang sudah melingkar di jariku. Seharusnya aku tak lupa
itu, sehingga aku tidak berkeliaran sembarangan seperti yang baru saja aku
lakukan. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa perbuatanku mematikan ponsel
selama di Surabaya membuat gara-gara sebesar itu. Selama aku di Surabaya, dia
tidak pergi ke kantor hanya untuk mencari tahu keberadaanku.
Hilmar membukakan pintuku, lalu berlari ke bagasi dan kembali dengan sebuah lunch box di tangannya. “Buat kamu ... Aku bikin sendiri ....”
Aku menatap haru ke arah kepalan nasi dengan
potongan ikan, omelet, acar dan rumput laut kering yang disusun rapi dalam
wadah berwarna violet. “Ya ampun!”
pekikku. “Kamu tahu, hobi makan nori-ku
parah banget sejak nonton The Billionaire?
Tiap hari aku jadi suka beli Tao Kae Noi. Padahal dulu aku benci banget nori karena menurutku rasanya kayak kaos
kaki. Tapi gara-gara film itu, aku gandrung sama keripik rumput laut. Aku bakal
kalap makan kalau begini caranya,” omelku lalu tertawa.
Would like to get the complete chapter for free?
DOWNLOAD CHAPTER 4
Di Atas Singgasana dan Kereta Kencana
Rajendra:
DOWNLOAD
Rajendra:
Aku memungut kemeja putih bergaris-garis biru di
gantungan karena hari itu aku hanya mempunyai celana jins berwarna senada
dengan garis-garis di kemeja itu. Dengan rasa nyeri yang kuderita di beberapa
bagian siku, aku mengenakan kemeja itu kemudian menumpuknya dengan jas almamater
lalu menggulung lengannya. Sampai di depan cermin, aku melihat memar di jidat.
Aku rasa lama-lama warnanya akan serasi seperti kemejaku. Masa bodoh, aku tetap
setampan Edward Cullen.
Aku terus mengawasi gerak jarum jam sambil meratakan minyak rambut di telapak tanganku. Dan benar saja, ponselku berputar-putar di atas meja. Aku pun
meraihnya lalu melesat menuruni tangga sambil mengacak-acak rambut yang baru setengah terminyaki.
“Assalamualaikum ... ya, halo?”
“Jendra di mana? Eh, waalaikumsalam. Di mana,
Jen?”
“Hmm ... maaf, aku kesiangan. Sekarang baru mau
berangkat ke LPPM.”
“Kamu lagi ditungguin mereka, Jen ....”
“Oke, sepuluh menit!”
Anjelie:
Tapi aku
bukan cucu Randolph Hearst, pemilik perusahaan media terbesar di dunia yang
bisa dipajang di segala suasana. Jadi aku harus berusaha keras untuk sekadar
mempelajari cara memegang garpu dan pisau di meja makan
mereka, mempelajari cara anggun turun dari mobil seperti Paris Hilton
atau menguap hanya untuk memamerkan kuku-kukunya yang dicat Frank Sorbier. Dan
lama-lama, aku rasa aku akan menggambari urat leherku dengan tinta berwarna
biru seperti gadis-gadis di istana Louis XVI agar diriku tampak berdarah biru. Sebenarnya,
tidak ada seorangpun yang memaksaku seperti itu, bahkan keluarga Hilmar sangat
baik padaku. Tapi, kemewahan justru membosankan bagi orang berjiwa ndeso sepertiku. Dan ketika mendapati
Hilmar begitu mencair dengan orang-orang seperti itu, aku seperti kehilangan
dirinya.
Get the complete chapter for FREE!
DOWNLOAD CHAPTER 4
Persembahan Untuk Malaikat
DOWNLOAD
Rajendra:
“Aku seperti kehilangan
dirimu, Jen ...,” Mikayla mengaduk coffee
latte-nya. “Kamu duduk di sini, tapi pikiranmu bergentayangan kemana-mana.”
Aku
menatapnya.
“Apa sih
yang kamu pikirin? Sepertinya bising sekali kepalamu?”
Aku
membuang tatapanku ke arah tumblerku.
“Sesibuk
itukah kamu, Jen ... sampai-sampai di hari pelantikanku kamu nggak bisa
datang?”
Anjelie:
Aku
berjalan ke arah rak buku-buku politik sambil mencaplok bola-bola cokelat isi
kacang almond, mengabaikan stiker mencolok
di depan sepasang mataku: Dilarang
membawa makanan dan minuman. Ketika aku menyibak buku-buku yang berjajar
itu, aku melihat wajah Hilmar menyempil di antara celah buku. “Baaa ....”
Aku
terlonjak hingga menghamburkan isi sebungkus Silver Queen Bites di tanganku. Cokelatku
tumpah di atas sampul buku Something
Borrowed di meja display.
Would like to read more? Get it for free!
DOWNLOAD CHAPTER 5
No comments:
Post a Comment
Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)