Love-Term Debt
a Short
Story by Nobie
“Aku mau putus!”
“Putus, ya,
putus sana...”
“Ya sudah, sana
pergi!”
“Nggak!”
“Katanya putus...sana
pergi!”
“Aku nggak mau
pergi sebelum kamu bayar utang-utangmu sama aku.”
“Utang apa lagi,
sih?”
“Keramaian situs
itu sekarang bernilai 50.000 dolar! Aku juga menabung kerja keras di sana. Aku nggak
akan pergi. Aku pasti kembali lagi untuk menagih utangmu. Ingat itu!” serunya
sambil menegakkan telunjuknya di depan mukaku sebelum dia enyah.
Sial, keributan
tentang SMS traktiran bakso dari seorang cowok di ponselku berkembang menjadi
pembagian harta gono-gini.
***
Fashion blog
bernama Shalu Althaf itu kini mempunyai market
value yang tak main-main berkat hasil kerja iseng kami berdua saat kami
masih duduk di bangku sekolah. Aku lah penulis blog itu, sedangkan foto-foto di
dalamnya adalah hasil jepretannya. Tapi saat ini, kami bermaksud memecahkan
diri dan membagi kepemilikannya. Kami sempat membuat pembagian 50-50. Tapi
tentu saja aku tak mau merelakan bagian sebesar itu untuknya. Aku lebih banyak
memberikan andil di sana. Shalu Althaf adalah namaku, aku menulis blog itu, mengaduk
baju-baju di lemariku, mendandani diriku sendiri lalu berpose dengan baju-baju
itu. Semua itu tak gampang dilakukan. Sedangkan pekerjaannya hanyalah tukang
foto.
“Tapi tanpa
kemampuan memotretku, kau tidak akan semelejit sekarang. Kalau tak ada aku,
siapa yang mau memfotomu? Kau cerewet dan bawel, mana ada yang mau jadi
fotografer gratisanmu?”
Sebenarnya
telingaku meletup-letup mendengarnya, tapi aku adalah orang yang cukup bisa menahan
diri. “Ya sudah, bayaranmu berapa?”
“Separuhnya.”
“Aaapaa???” aku
melotot, bola mataku hampir meloncat dari tempatnya. Berani-beraninya dia
menghargai dirinya sebesar itu.
“Kenapa? Aku
separuh nyawa dari situs itu,” ujarnya dengan kepedean nyiur melambai.
Aku tidak
mungkin menjual situs itu lalu membagi hasil penjualannya dengannya. Tapi, jika
aku tak mengabulkan tawarannya, dia melontarkan
ancaman
untuk memperkarakan masalah
itu dari sudut pandang hukum. Alamak, tak kusangka minta putus saja masalahnya
jadi berekor sepanjang ini. Apa aku harus balikan
lagi dengannya lalu melanjutkan hidup lagi untuk mengerjakan blog itu
bersama-sama lagi dengannya? Tidak. Aku sudah bosan bertahan dengan sikap tak
mau mengalahnya yang amit-amit itu. Kami berdua sering meributkan hal-hal kecil
hanya gara-gara jagung bakar, kaos kaki, sandal jepit, sol sepatu, sadel motor dan
hal-hal tidak bermutu lainnya.
Semenjak
kehadiran Farrand, hubungan kami terjebak macet. Meski Farrand tak sebagus rupa
Auddry, dia adalah tipe cowok yang tahu bagaimana membuat cewek tergetar
perasaannya dengan kemampuannya menjadi pendengar yang baik, tidak dingin dan
kepala batu seperti Auddry yang membuat kepalaku berasap nyaris setiap hari.
Auddry keterlaluan analitis gara-gara wawasan di otaknya terlalu overload hingga isi kepalanya
tumpah-tumpah. Semua hal hingga hal-hal kecil bisa menjadi konsep dan teori
yang berisik, apalagi jika dia sudah punya keyakinan atas pendapatnya, dia akan
memperjuangkannya mati-matian sekalipun itu sandal jepit. Sedangkan Farrand
adalah cowok yang hangat, simpatik dan penuh perasaan. Dia lebih banyak
mendengarkan dan lebih memilih untuk menyimpan idealismenya demi menentramkan
perasaan orang lain.
***
“Sha, temenin aku
nonton yuk...” Farrand menangkupkan kedua telapak tangannya.
“Hmm, aku nggak
bisa...” kataku menggaruk kepala. “Nggak bisa nolak, haha...”
Farrand mengelus
dada. “Ah, kamu, bikin aku deg-degan...oh ya, sebelum kita nonton, kamu mau
makan dulu? Kamu mau di mana?”
Satu hal yang
aku suka dari Farrand, dia selalu bisa membuat pendapat seorang cewek menjadi
begitu penting.
“Gimana kalau
yang kapan hari kita lewat?” usulku.
“Ide bagus...”
Ah, mudahnya. Jika
aku bersama Auddry, aku harus jungkir-balik dulu untuk memenangkan kontes debat
melawannya. Ya, kau harus mendebatnya dulu untuk membuatnya setuju.
“Kita duduk di
mana?” tanya Farrand sesampainya kami di pintu masuk sebuah kafe. Aku pun
langsung menunjuk meja di samping jendela. Dan Farrand berjalan mendahuluiku,
menyeret kursi untukku. Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan menyorongkan
daftar menu.
“Kau apa?”
tanyaku sambil bersiap menulis pesanan menu.
“Apa aja...”
jawabnya. Jika bersama Auddry, pasti Auddry sangat berisik soal menu
pilihannya. Dia ingin frappuccino
tanpa gula, sayur yang harus setengah matang, roti yang harus dipanggang lagi atau
aturan-aturan lainnya yang harus dicatat pelayan. Dia juga selalu berkomentar
tentang pilihanku hingga aku sering berpindah pilihan karena tak tahan mendapat
‘kuliah’ ratusan SKS darinya. Dasar bawel, sebenarnya dia lebih cerewet
daripada aku. Huh!
Aku mencatat
pesanan salad brokoli, banana sands, dan fresh milk rendah lemak, lalu mengetuk-ngetuk kepalaku dengan
pulpen, memikirkan makanan yang akan kupesankan untuk Farrand. Aku pun
mendongak untuk bertanya kepadanya, “Kau suka apa?”
“Terserah kamu,
apa yang kamu suka...” jawabnya. Tapi seperti yang aku duga, sejak pesanan kami
datang, Farrand tampak tersiksa dengan gerumbulan brokoli di mangkuk saladnya.
Aku benar-benar sedih melihatnya, tak seharusnya aku memesankan makanan seperti
itu. Bodoh, seharusnya aku pesankan saja menu yang biasa dipesan....
“Auddry? Kamu...”
aku terkejut bukan main. Auddry sudah berdiri menjulang di samping kursiku.
Tapi belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Auddry menarikku dengan paksa
dari kursi yang kududuki. Dan Farrand hanya bisa melihatku dengan mulut terbuka.
“Enak aja kamu!
Belum bayar utang, udah jalan aja sama cowok lain. Bayar dulu utangmu! Sini,
bayar!” serunya.
“Apa-apaan sih,
Dry! Norak, tau!”
“Aku nggak
peduli, aku menagih hakku kok. Mana?”
“Mana apanya?
Gimana aku bisa bayar sekarang, masalah pembagiannya kan belum kelar.”
“Nah makanya
kelarin dulu! Dan satu hal. Kalau kamu belum bisa bayar utangmu, itu artinya
kamu nggak bisa jalan sama cowok lain! Itu peraturannya! Kalau kamu nggak sanggup, kita selesaikan
masalah ini ke...”
“Oke, oke!”
potongku putus asa. “Damn you,
suaramu ribut sekali!”
***
Turun dari taksi yang kutumpangi, aku melihat Farrand
melambai dari meja di sebuah sudut. Sejak kejadian itu, aku harus bermain
ci-luk-ba di tempat-tempat tersembunyi seperti tempat kami sekarang. Aku berpikir
bahwa Auddry bukan tipe orang yang kurang kerjaan membuntuti orang karena dia
punya segunung kegiatan di luar kota sebagai duta wisata. Jadi kami cukup
memilih tempat yang jauh dari pusat keramaian seperti kedai makan yang tersuruk
ke dalam gang tikus ini.
“Hai, Cantikku...”
sapa Farrand ketika aku sampai di meja itu. Entah sudah berapa ratusan kata
‘cantik’ yang dia guyurkan padaku hari itu. Satu perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh Auddry seumur hidupnya pada seorangpun, bahkan padaku. Jika aku
memakai baju yang pas, Auddry hanya akan bilang, “Kau beli baju itu di mana?”
atau paling banter, dia akan menatapku lekat-lekat sambil mengusap kepalaku dan
bilang cantik dalam bahasa telepatinya.
“Oh,” aku
tersentak. Pemilik kedai mendorong daftar menu ke meja kami. Dan seperti biasa,
aku tak perlu bertanya pada Farrand menu apa yang diinginkannya. Karena
jawabannya sudah pasti ‘terserah kamu’. Hingga aku merasa, saat-saat menulis
menu seperti itu adalah saat yang membosankan bagiku.
“Hmm, kau mau kita
pesan nasi goreng?”
“Ya, boleh...”
“Hebat ya,
bisa-bisanya nasi goreng dinobatkan jadi masakan terenak nomor dua di dunia...”
“Oh, ya?”
“Iya, bahkan
nomor satunya adalah rendang.”
“Masa?”
“Tapi kayaknya masih
aja banyak orang yang gandrung sama masakan asing. Kita terlalu tergantung sama
asing. Liat aja, saham-saham makanan, sabun, odol, teknologi yang udah
dikuasain sama asing. Makanya nggak heran budaya kita sering dicolong sama
negara lain dan kita nggak nyadar....”
“Ya, benar!”
Farrand memang
tipe orang yang menjauhi keributan, dia orang yang penuh perdamaian, saking
damainya, dia tidak pernah berusaha melontarkan pendapatnya. Lihat saja, dia
tak tersengat sedikitpun untuk menanggapinya, padahal dia adalah penggila junk food dan gadget impor keluaran
terbaru yang menjebol kantong penduduk negara berkembang. Seharusnya dia menyerang
pendapatku. Toh, tidak semua yang aku kemukakan itu benar.
“Sha,
menurutku....” dia menarik kursinya merapat ke meja. “Menurutku....ini waktu
yang tepat....”
Aku mengernyit.
“Aku cinta kamu,
Sha....maukah kamu jadi kekasihku?”
Aku ingin
terjungkal dari kursiku.
***
Gara-gara kalimat
bodoh itu, perang dunia ke-3 antara aku dan Auddry meletus.
“Ya, ambillah
semuanya! Sebenarnya aku tak butuh semua itu. Bukan itu yang aku butuhkan,”
katanya sambil melempar kunci mobilnya ke arahku kemudian berlalu meninggalkanku.
Meninggalkan angin berdesir yang mencekat di dalam gang tikus bodoh itu. Meninggalkan
malam pekat yang kuhabiskan untuk menekuni tablet PC-ku. Aku menyisir halaman
demi halaman blog-ku, dari posting awal
di mana blog itu baru saja terbentuk hingga posting
terakhir kami. Aku menemukan tangga-tangga perjuangan kami. Dari foto-foto
jadul kami dengan gaya berposeku yang memalukan dan kampungan hingga foto-foto
yang tampak lebih kece dan
profesional. Tak terasa, kami telah merajut perjalanan selama 5 tahun. Mendadak
aku menggigil ketika melihat foto jepretan pertamanya di kaki bukit di sebuah pegunungan
di Ciwidey Bandung di mana saat itu dia berjanji bahwa 5 tahun ke depan, saat
blog kami menuai target kesuksesan, dia akan membawaku ke atas bukit yang lebih tinggi dan berlutut di hadapanku
dengan sebuah cincin. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang mulai kabur. Air
mataku bobol dari kelopaknya. Aku bangkit dari dudukku, merayuk kunci di
pangkuanku dan bergegas pergi ke rumah Auddry dengan mobilnya. Sesampainya di
rumah Auddry, aku begitu terkejut Tante Jasmine menyambutku dengan pelukan dan
berceloteh ramah seperti biasanya, padahal malam itu sudah merangkak dini hari.
Tapi aku tak yakin Auddry akan berbuat seperti ibunya. Benar saja, tak berapa
lama Tante Jasmine masuk ke dalam, Auddry pun muncul sambil mengomel-ngomel.
“Aku nggak butuh
semua itu. Ambil aja semuanya. Ambil, bawa-bawa sana semuanya!” teriaknya
berentetan sambil tak henti-hentinya mengucek mata. Aku rasa dia sedang
mengigau. Aku menghampirinya satu langkah. “Heh, siapa yang mau bayar utang?
Aku ke sini justru mau menagih utang!”
Dia berjingkat
lalu buru-buru menegakkan kelopak matanya yang tadinya setengah terpejam.
“Kau punya utang.
Kau pernah berjanji di kaki bukit bahwa 5 tahun ke depan sejak hari itu, kau
akan membawaku naik ke atas bukit, ingat? Mana, kau belum membayar janjimu.
Sekarang tanggal 7 Desember,
hari yang kau janjikan, jadi harus kau bayar sekarang.”
Auddry
berjalan beberapa langkah ke arahku hingga berdiri menyisakan jarak beberapa senti di depanku dan lengan bajuku ditarik. “Ayo, Cerewet.”
“Kemana?”
“Aku mau bayar
utangku...” bisiknya ke telingaku. “Kau juga mau bayar utangmu?”
“Aku rasa nggak,
Bawel...aku nggak sanggup membayar besarnya utangku padamu, aku nggak sanggup
menghitung harga untukmu, karena...kamu tak ternilai harganya untukku...”
ehm
ReplyDelete-_- note: semua novel dan cerpen di sini karangan fiktif belaka, bukan kisah nyata. Jadi jangan protes ya hehe :)
ReplyDelete