Pangeran
Seberang
a Short Story by Nobie
“Aku tidak mau
bicara denganmu. Kau menyebalkan!” teriakku dan suaraku segera menggaung
memenuhi lorong.
Zuma tergopoh
mengejar langkahku. Lalu dia melompat menghadangku hingga sepatunya berdecit.
“Noni, kumohon. Dengar dulu.”
Aku
memelototinya.
“Bukan aku yang
melakukannya. Kalau kau tidak percaya, kau ingin aku bersumpah apa? Demi Tuhan,
demi masa, demi bumi yang berputar. Sumpah, bukan aku,” Zuma menangkupkan kedua
tangannya dengan wajah berkerut.
Kesalku sedikit
memudar. Tapi jika teringat tingkah-tingkah
bodohnya yang sudah-sudah, aku ingin marah lagi.
“Lalu kenapa Bu Ferof tiba-tiba menawarkan perjodohan ini? Pasti kau biangnya.”
“Kau jangan
buruk sangka begitu. Sudah aku bilang, aku tidak pernah mendatangi Bu Ferof,
kenal saja tidak.”
“Ya, aku percaya
bagian yang itu. Tapi siapa yang mengirimkan fotoku kepada Bu Ferof?”
Zuma memeluk
lenganku dengan wajah tersipu.
“Gila!” seruku.
Zuma adalah
teman dekat sekantorku yang begitu giat mencarikanku jodoh. Aku tahu niatnya itu
sangat baik, dia melakukan semua itu untuk menghilangkan ingatanku pada Aldean,
orang yang hingga detik ini masih berenang-renang
di
dalam kepalaku. Tapi perbuatannya itu sangat menggangguku. Dia pernah mengatur
pertemuanku dengan bekas teman kuliahnya, saudara sepupunya, teman dari teman
SMA-nya hingga tetangganya. Sehingga ketika Bu Ferof menemuiku dan tiba-tiba
menawarkan sebuah perjodohan, pikiran burukku seketika melayang padanya.
“Ganteng lho. Muka-muka Arabian, Non. Kerja di DPRD pula,” kata Bu Ferof siang itu.
“Di DPRD? Aduh,
om-om ya, Bu?” celetukku, lalu aku buru-buru menutup mulutku setelahnya.
“Lho, lho, jangan salah. Dia itu baru
akan 27 tapi sudah duduk di
DPRD!”
Dan sebelum
berpamit pulang, Bu Ferof memintaku untuk mengirimkan foto beserta biodataku ke
alamat email beliau. Aku ingin sekali
tertawa ketika mendengarnya. Zaman
sekarang, masih ada begituan. Pikirku sambil tak henti menggelengkan kepala.
“Jangan salah,
Non!” sahut Zuma membuyarkan bengongku. “Feronika Fauda, istri seorang pejabat
negeri kita. Pemilik 70 persen saham di perusahaan ini. Pasti tidak main-main
orang yang disodorkannya.”
“Aaahhhh!” aku
mengibaskan tangan sambil berlalu.
***
“Noni! Tunggu!”
teriak sebuah suara.
Sebentuk wajah menyebalkan menyambutku ketika aku menoleh.
“Ah, muka kau
lagi,” aku melanjutkan langkahku.
Zuma menarik
lenganku. “Non, kau itu yang realistis. Kau terlalu menutup diri dari
kenyataan. Kalau kau tetap seperti itu, Aldean
akan tetap berkutat di kepalamu. Tidak ada bedanya
dengan katak di dalam tempurung.”
“Kau mengatakan
aku katak?”
“Kau bisa lebih
baik dari ini dan mendapatkan yang jauh lebih baik, Non…”
“Aku lebih baik
jika bersama Aldean.”
“Non!” teriak Zuma
lalu menghela nafas dengan gemas. “Dia itu player.
Dia merasa tertantang dengan perempuan cuek seperti kamu, mengejar kamu sampai
mati-matian hingga kamu luluh. Lalu ketika kamu sudah benar-benar luluh, dia
meninggalkanmu. Begitu seterusnya, dia melakukan hal yang sama kepada perempuan
yang lain. Dia...”
“Dia buaya.
Terus saja, kamu mau bilang dia apalagi?” tantangku.
“Dia artis. Kamu
sendiri sering mengutuk artis. Kamu tahulah kehidupan artis itu seperti apa.”
“Tidak. Dia
tidak seperti itu. Kau cuma
berusaha membuat aku membencinya.”
“Ah, kau itu.
Batu di kepala dipiara!” Zuma
membanting tanganku yang tadi digenggamnya lalu beranjak pergi meninggalkanku.
Dia tidak
seperti itu. Dia tidak seterkenal itu hingga disebut artis. Wajahnya hanya ada
di poster iklan kain tenun, spanduk acara festival yang terbentang di pepohonan,
buku di rak kumpulan buku-buku tidak populer, majalah pariwisata yang
tergeletak di kursi taksi, iklan tissue basah
di pertigaan jalan dan hanya membintangi satu film sebagai pemeran tokoh tidak
penting yang hanya mengucapkan dua kalimat dialog. Kalaupun dia terjun lebih
dalam lagi, aku rasa dia adalah tipe orang yang bisa mengendalikan hidupnya.
Dia adalah pengecualian dari ‘kutukanku’. Karena itu aku justru jatuh cinta
padanya. Ya, aku jatuh cinta padanya karena terkesan dengan mobil kreditnya,
rumah kecilnya yang sederhana di gang sempit tapi rumah sanggar untuk anak-anak
jalanan yang dirintisnya
yang justru sebesar gedung.
Aku terkesan dengan hidupnya yang kere tapi jiwanya yang konglo. Aku pikir,
itulah modal keyakinanku terhadapnya. Tapi mungkin saat ini, keyakinan itu hanya
tinggal keyakinan lisan. Aku berdebat mati-matian dengan Zuma, tapi dalam hati
aku setuju sempurna. Benar apa yang dikatakan Zuma, aku tidak ingin mendengar
kenyataan, berusaha mengubur dalam-dalam kenyataan. Aku merasa seakan bisa
mengubah kenyataan dengan menyembunyikan kenyataan. Kenyataan bahwa dia
meninggalkanku begitu saja seakan pertemuan kami hanya dongeng dan hanya mimpi
yang tersadarkan ketika aku bangun dari tidurku.
“Zumaaaa!”
teriakku putus asa.
“Kamu benar!”
***
“Noniiii!” Zuma
berteriak-teriak berbarengan dengan suara ketukan sol sepatunya. “Kau ditunggu
Bu Ferof di lobi. Ada berita baik buatmu katanya. Berita apalagi kalau
bukan...hahaha.”
Ah, entahlah,
aku tidak yakin itu yang kuharapkan. Jodoh yang disodorkan oleh Bu Ferof
menginginkan sebuah pertemuan. Kencan buta yang bodoh buatku. Kata Bu Ferof, laki-laki itu mengundangku dalam
sebuah perjamuan di kotanya. Dan gila, kota itu bernama Kota Tulungagung.
Membaca alamatnya saja aku bergidik. Sebuah desa lengkap dengan nomor RT dan
RW-nya. Aku rasa itu sebuah pedusunan. Orang itu tinggal di sana. Bukankah itu mengerikan?
Tapi aku tak
sanggup menolak Ibu Feronika Fauda yang terhormat. Apalagi beliau berkata jika
beliau sudah menyiapkan perjalanan khusus untukku ke sana. Ya Tuhan, perutku
mual dan ingin muntah.
***
Aku mengira
bahwa perjalananku ke Tulungagung diantar Alphard atau yang tidak jauh-jauh
dari semacam itu. Ternyata aku hanya
mendapatkan selembar karcis kereta ekonomi jurusan Tulungagung. Kembali aku
tidak sanggup menolak karena Bu Ferof berkata bahwa sesampainya di stasiun
sudah ada orang yang siap menjemputku. Beliau juga menasihatiku, bahwa selama
perjalanan di kereta aku akan banyak menemui hal-hal baru. Yah, aku pikir Bu
Ferof atau laki-laki
itu sedang berusaha membuatku sedikit beradaptasi dengan calon tempat yang akan
aku tinggali itu. Ah, perutku benar-benar mual.
Dan benar saja,
banyak hal-hal baru yang aku temui sepanjang di kereta. Kursi berkarat, gerbong
kumuh, panas, dan sesak.
Tahu seperti itu, aku pasti lebih memilih membayar tiket pesawat ke kutub utara.
Lebih baik jika seandainya aku kabur ke sana.
Aku hanya bisa
melongokkan kepalaku ke jendela. Berharap agar aku segera sampai di planet
pluto saja.
***
Tak kusangka
harapanku benar-benar terkabul. Aku terdampar di planet pluto. Semuanya asing.
Apalagi orang yang menyambutku sejak di pintu keluar stasiun. Pakaiannya aneh.
Dan menyapaku dengan bahasa yang aneh pula. Aku mempunyai darah Jawa dari
ayahku, tapi aku tidak pernah berbicara bahasa Jawa dengan tingkatan krama
inggil yang sekental itu. Yang aku tahu
bahasa-bahasa seperti itu hanya digunakan di keraton atau pentas wayang.
“Sugeng rawuh, Ndoro
Noni...(selamat datang, Ndoro Noni...)” sapa lelaki setengah baya itu sambil
mencocokkan wajahku di foto yang dipegangnya.
“Wah, langkung ayu kalih fotone...(Wah, lebih
cantik daripada fotonya)” katanya terkekeh. “Monggo...Kulo meniko rewang
(Silakan, saya itu pembantu) Den Bagus sejak kecil...Panggil kemawon (saja) Pak Junaid...”
Aku hanya
mengangguk sembari tersenyum tipis, membayangkan orang yang disebutnya ‘Den
Bagus’ itu.
Bapak berbaju
loreng-loreng dengan udeng-udeng di kepala itu membimbingku menuju tempat di
depan stasiun, di mana beberapa stan makanan berjajar.
“Banyak sekali
kuliner tradisional di sini, monggo
kerso, sedoyonipun eco...(Silakan, semuanya enak)” Pak Junaid menjelaskan
semua makanan yang kami lewati mulai dari krupuk rambak, lontong kecap, hingga
putu bumbung, kue yang dimatangkan dalam potongan-potongan bambu yang
diletakkan di atas uap panas. Aku mulai mengagumi kota kecil itu, tapi malas
menunjukkan perasaanku. Jadi aku tetap bersikap masa bodoh saat Pak Naid begitu
antusias memanduku berwisata kuliner. Ternyata benar, masakan Tulungagung itu
kental sekali dengan bumbu dan penyajian yang masih tradisional. Kata Pak Naid,
orang-orang Tulungagung itu pandai menjaga jati dirinya, asalnya hingga
budayanya di manapun mereka berada. “Ibaratnya manuk doro yo, Nduk, sejauh-jauhnya dia terbang, kembalinya ke pagupon, tidak pernah lupa rumah
asalnya,” kata Pak Naid. Sambil berseloroh, Pak Naid menambahkan, bahwa seperti
itulah orang yang akan aku temui nanti.
Aku tidak yakin
apakah aku jatuh cinta mendengarnya. Aku bahkan khawatir orang yang akan aku
temui adalah mantan dalang atau pemain ketoprak. Bagaimana tidak, aku akan
diangkut dari stasiun ke rumah yang dituju dengan dokar, kendaraan sejenis andong di Yogyakarta.
Ah, masih beruntung aku tidak disuruh dandan pakai sanggul, kebaya dan jarit.
Di sepanjang
perjalanan, Pak Naid yang duduk di depan menjadi kusir terus bercerita tentang
kecap Kuda khas Tulungagung yang dipakai di lontong kecap tadi, sedangkan aku
hanya diam dengan benak meliuk-liuk di angkasa membayangkan pangeran
antah-berantah yang akan segera kutemui.
***
Sesampainya di
depan sebuah rumah gebyok ala Jawa,
aku terpana bukan main. Aku disambut dengan iring-iringan orang-orang yang
sudah didandani dengan riasan paes
Jawa. Dua orang perempuan di antara mereka menyambutku dengan ramah lalu
menggandeng kedua tanganku. Apa-apaan ini? Aku ingin pulang. Berlari memeluk
ibuku.
Aku merasa
terjebak di raga Siti Nurbaya. Apakah sekarang aku sedang dibawa ke sebuah
tempat rias untuk didandani lalu dipertemukan dengan Datuk Maringgih?
Aku menarik
kedua tanganku dari genggaman kedua perempuan itu. Dengan panik, aku berkata,
“Saya mau pulang, saya mau pulang!”
“Cah Ayu, pun dirantos Kang Mas wonten
ndalem...monggo...(Cah Ayu, sudah ditunggu Kang Mas di dalam, silakan)”
kata salah satu perempuan itu sopan.
Mereka
menuntunku memasuki rumah, melewati sebuah pendopo, hingga sampai di halaman
belakang. Aku disambut pemandangan deburan padi, gemericik air sungai yang
menuruni bebatuan gunung, sebuah saung
di tengah-tengah sawah yang sudah didandani dengan janur, bunga, dan
tulisan di atas atap jerami: Trisno
marang sliramu, Naunine Syahluna. Cinta padamu, Naunine Syahluna. Seseorang
duduk menungguku di sana.
Aku menjerit.
Dia berjalan ke
arahku sambil membawa seikat padi.
“Aldean!”
jeritku lagi.
“Bagaimana bisa?” Aku tak percaya seorang
Aldean Addreby bisa berada di tempat seperti ini.
“Karena inilah
asalku. Apakah kau bersedia menemaniku menghabiskan sisa hidupku di tempat
asalku? Terimalah ini jika kau mau...” katanya sambil menyodorkan seikat bunga kenanga yang sudah
dirangkai indah di genggamannya.
“Kenanga?” tanyaku.
“Kini aku telah kembali ke asalku, bunga kenanga inilah
yang menghiasi tempat asalku. Apakah kau mau menerimanya?”
Tepuk tangan
membahana. Aku melihat Bu Ferof dan Zuma di sana. Aku mengatungkan bogem ke
arah Zuma.
Aku mengangguk.
“Kalau
begitu, ayolah. Semua pengiring sudah didandani. Tinggal kita berdua...”
katanya.
“Jangan Aldean. Kamu saja dulu yang didandani…”
kataku.
***
“Aldean?”
“Mbak Noni?”
“Mana Aldean? Apakah dia sudah didandani?”
Pemuda di sampingku yang wajahnya mirip sekali dengan
Aldean menatapku cemas hingga aku mendapati keringat di keningnya.
Dia mendekatiku. “Mbak Noni, Alhamdulillah Mbak sudah
siuman. Mbak sekarang di rumah sakit, sudah satu bulan Mbak nggak sadarkan diri.
Kecelakaan itu…”
Aku buru-buru menegakkan badanku. “Mana Aldean?”
Adik laki-laki Aldean itu menunduk. “Mas Aldean sudah
pulang ke rahmatullah, Mbak. Pagi ini disemayamkan….”
Mantene wus dandan dadi
dewo-dewi...Dewane asmara gya mudun bumi...(Pengantinnya
sudah dandan jadi dewa-dewi, dewanya asmara pun turun bumi)*
*Anyaman Nyaman-Sujiwo
Tejo
Sempat terbayang ini kisah nyata dari sang penulis, ternyata hanya kotanya aja yg beneran ..
ReplyDeleteSemoga makin betah buat angkat cerita dari Tulungagung . **