Bunnyberry is one of the trilogy of Flashberry
(Rajendranjali). It consists of 150 pages. Here you can read the sneak
peak (45 pages). And you can email me to get the rest. Hope you guys
like it :)
The Little Bunny
Bulir-bulir air berguguran dari dedaunan yang berlambaian dihembus angin yang menerjang
di antara remang-remang kabut. Hujan deras yang baru saja berlalu menyisakan dingin yang mencekat. Aku tak berhenti merapatkan jaket sambil mematut melihat pemandangan di bawah pohon jeruk.
Gadis
kecil yang memakai rok lipit itu berdiri di depan pintu mobil bersama seorang
laki-laki muda yang berjongkok di hadapannya.
“Sweetie...Daddy will call you every night.
To say good night...”
“Promise?”
“I do promise. Love you, my little one...” ujar ayah muda itu lalu mengecupi
muka si gadis kecil hingga rambut ikalnya berantakan.
“Love you too,” sahut gadis kecil sambil
mengucek matanya. Aku tahu dia ingin menangis tapi malu melakukannya.
Aku
bergeser mendekati si gadis kecil, mengangkat tubuh mungilnya untuk kugendong.
“Cah ayu, mboten pareng
nangis nggih...”1 kata si ayah sembari
menurunkan kaca mobilnya. “Beautiful
princess tidak pernah nangis, because
kalau nangis, matanya bisa berkantung kayak saku kangaroo...Ooo, that's sooo spooky!”
“Oh, stop...” pinta si gadis kecil
menghentikan tingkah berlebihan ayahnya.
“Bye, Eiffel. Granny, Uyik Una...” sang ayah mengangguk sembari melambai.
Aku
mengangguk-anggukkan kepala ke arah lantai trotoar di sekitar sandal jepitku.
“Hati-hati, Nak Rajendra...” sahut Mama
di belakangku.
Gadis
kecil berumur tiga tahun itu bernama Eiffelyn Nilofar. Eiffel lahir di Paris
ketika Rajendra membawa Naftali, istri almarhum kakakku, ke sana setelah
pernikahan secara agama. Namun sekembalinya di Indonesia, ketika undangan pesta
baru dicetak, Naftali meninggal dunia.
Aku
menyukai Eiffel. Tapi tidak menyukai nama belakangnya. Seharusnya Eiffel
memakai nama belakang ‘Althaf’. Dengan mengubur nama ayah kandung Eiffel, aku
pikir Rajendra telah menghilangkan asal-usul Eiffel.
Aku
menyukai gadis kecil yang menggemaskan itu. Hingga aku memakai alamat email, nama blog, dan beberapa password
yang mengandung unsur namanya. Ya, bagaimanapun, Eiffel adalah keponakan
pertama sekaligus terakhir dari almarhum kakakku. Apalagi keponakan secantik
dan selucu dia. Dan karena begitu menggemaskan dan lucunya dia, maka aku selalu
memanggilnya ‘Bunny’ atau ‘Tomilu’.2
“Uyik
Una, do you see my Kanggo?” ujarnya,
menanyakan boneka Marsupilami-nya.
“Granny tahu mereka sedang sembunyi di
mana,” jawabku, berharap agar dia bermain dengan neneknya, dan aku bisa
menyelesaikan tugas-tugas kuliahku di kamar.
Namaku
bukan Uyik Una. Namaku Shaluna Althaf. Aku sering dipanggil ‘Shalu’. Dan
dipanggil ‘Luna’ oleh keluargaku pada saat-saat tertentu. Karena aku tidak
ingin tampak seperti seorang ‘tante’, maka aku menyuruh Eiffel
memanggilku dengan panggilan Jawa, ‘Bulik Luna’. Tapi tiba-tiba namaku
berubah menjadi ‘Uyik Una’ di lidah Eiffel yang saat itu masih berumur dua
tahun.
Eiffel
tiba dengan ayahnya malam itu sambil memeluk boneka loreng-loreng bernama
Lorenggo dan boneka kangguru bernama Kanggo. Mama begitu histeris sejak melihat
kedatangan mereka dari tirai jendela. Hingga menyuruh aku segera berlari keluar
rumah untuk membantu Rajendra menyeret sebuah koper yang dibawanya. Dan begitu
kesal ketika Rajendra tidak menolaknya.
Koper
itu berisi semua perlengkapan Eiffel, dari rok dan kaus kaki hingga syal dan bolero dengan potongan
yang fashionable dan bahan yang
tampak mahal. Aku rasa Rajendra mempunyai desainer khusus untuk baju-baju Eiffel. Karena dia sering
membawa Eiffel kemanapun, menghadiri acara-acara internasional dan beberapa
syuting film ketika dia menjadi bintang di sebuah film lokal tentang budaya di
Prancis.
Untuk
beberapa bulan ke depan, Eiffel dititipkan di sini, bersama aku dan Mama.
Karena Rajendra sedang menggarap penelitian di sebuah negara terpencil di
Afrika. Selama Rajendra pergi, sebenarnya Eiffel bisa tinggal bersama orang tua
Rajendra di New York atau ibu almarhum Naftali di Jawa Timur. Tapi Mama
berkeras meminta Eiffel untuk tinggal di Bandung.
Sejak
kepergian kakakku, entah kenapa, Mama justru menganggap Rajendra sebagai
pengganti Brian, kakakku. Tutur katanya yang tenang dan terdengar bijaksana
seperti seorang pangeran dari Hastinapura memang membuatnya menjelma menjadi
Arjuna di mata ibu-ibu. Tapi tidak untukku. Aku tidak pernah berharap mempunyai
kakak seperti itu. Bagiku, Brian adalah kakakku yang tak tergantikan.
“Hi, Uyik Una!” serunya ketika aku
menuruni tangga.
Aku
berjongkok lalu memutar kursi yang didudukinya ke hadapanku. “Hi, Bunnie!”
Dia
tersenyum sambil menjulurkan lidah. Matanya bening berkilau dengan kelopak menjorok
ke dalam, bibir mungilnya merah seperti buah raspberry. Dia teronggok seperti buah segar yang manis. Hingga
tanganku tidak bisa diam, begitu gatal ingin mencuil pipinya, meremasi
jari-jari mungilnya, dan menyesap baunya. Bentuknya begitu lucu.
“Granny sedang bikin apa, Ef?” tanyaku.
“Granny bikin apa?” tanyanya balik
seperti berusaha menirukan kalimatku. Dia selalu menyukai kata-kata baru dan
akan memperhatikan baik-baik setiap kata baru yang didengarnya.
Eiffel
juga menyukai musik dan gerakan tubuh. Dia mempunyai kemampuan mengharmonikan
gerakan tubuh dengan irama musik yang didengarnya. Pada usia satu bulan, dia
menggerak-gerakkan kakinya ketika diputarkan lagu odong-odong. Pada usia tiga
bulan, dia menambah gerakan tangan. Pada usia lima bulan, dia
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar musik DJ di mall. Pada usia tujuh bulan, dia melakukan
gerakan patah-patah menirukan kipas angin rusak. Pada usia satu tahun ke atas,
dia memiliki beberapa gerakan menghentak-hentakkan kaki bermaksud menirukan break dance. Pada usia dua tahun, dia
berdansa waltz bersama ayahnya. Tapi
akan lebih tertarik mendengarkan Jangkrik Genggong, Ande Ande Lumut, Walang
Kekek dan beberapa musik langgam Jawa. Aku rasa itu ajaran ayahnya.
Menurutku,
Eiffel jenius di bidang seni dan pemikiran sosial. Dia mudah mempelajari nada
dan tarian bahkan dengan cepat menirukan bahasa slang Amerika hanya karena mempunyai pengasuh seorang perempuan
Nigger, dia suka memilih bajunya sendiri menurut warna dan keserasiannya,
mempunyai komentar bagus dan jelek tentang apapun yang dilihatnya, tidak pernah
takut melihat orang asing, selalu menyenangkan jika bertemu orang baru, kata-katanya
cerdas melampaui balita sepantarannya bahkan cenderung mempunyai pemikiran yang
tak terduga seperti orang dewasa, mempunyai kemampuan mengatur dan memegang
kendali, seperti misalnya, Granny
harus duduk di sana, memasak ini, atau melakukan itu. Tapi mempunyai
perhitungan yang payah, dia tidak bisa memperkirakan jarak, panjang, lebar,
atau tinggi sesuatu dengan tepat sehingga dia gampang jatuh, menabrak, atau
membentur sesuatu.
“What is that, Granny?” dia berdiri
menjajari Mama lalu berjinjit sambil mendorong buah berwarna merah di atas
meja.
“Kinda delicious phytos...” Mama menyebut
buah-buahan dan sayuran berwarna dengan nama phytos, dari kata phytonutrients,
agar terdengar enak dan lucu di telinga anak-anak kecil.
“Come on, kasih lihat ke Uyik Una. Uyik
Una juga mau breakfast,” ujar Mama sambil
menyerahkan sebuah piring bayi.
“Okay,” katanya sambil mempelajari isi
piringnya. “But, Granny. Ef tidak
suka tomato.”
“Tidak,
Granny tidak menaruh tomato di sana. Come on,” ujar Mama sambil berkedip ke arahku lalu mengangkat tubuh
Eiffel ke atas kursi.
“I don’t like tomato, Granny...”
gerutunya sambil mencungkil irisan-irisan tomat di sela-sela nasi goreng dengan
garpu plastiknya.
Aku
tertawa sambil mencolek dagunya.
Dia berhenti mencungkil kemudian mendongak
ke arah mejaku.
“Mana punya Uyik Una?” tanyanya dengan
wajah sedih lalu terjun turun dari kursi tanpa mengira-ngira tingginya.
“Hey!” seruku sambil memeganginya.
Dia
mengibaskan tanganku lalu berlari ke dapur. “Granny, mana punya Uyik Una?”
“Iya,
Nak, apa?” tanya Mama sambil mengusap kedua tangannya pada celemek.
“Uyik
Una. Nasi goreng Uyik Una!” serunya dengan muka marah-marah.
Aku
menghampirinya, menciumnya dengan gemas. “Bunnie,
Uyik Una cuma makan roti karena Uyik mau pergi. Ef tahu selai peanut di mana?”
“Ow, wait! Wait!” katanya sambil berlari
ke meja makan, memanjat ke atas kursi, berdiri di atasnya untuk mengambil
sebotol selai, turun lagi, lalu menyodorkan selai kepadaku sambil berseru heboh.
“This! This, Uyik Una!”
Tentu
saja aku tahu letak selai itu walau sambil memejamkan mata sekalipun, tapi aku
hanya ingin membuatnya senang. Dia suka sekali disuruh atau membantu orang
dewasa hingga sibuk mondar-mandir. Eiffel mempunyai sedikit perilaku aktif yang
berlebihan yang membuatnya tidak pernah berhenti bergerak, memegangi semua
barang-barang di sekitarnya, dan susah tidur di malam hari. Perilaku itu begitu
parah ketika dia masih berusia tujuh bulan dan berlangsung hingga dua tahun.
Dia berputar-putar, berlari kesana-kemari, dan memanjat jendela. Bahkan
Rajendra pernah mencurigai Eiffel mengidap autis, lalu membawanya ke pediatrik.
Ternyata Eiffel hanyalah sejenis anak hiperaktif seperti anak-anak aktif lain yang
bertebaran di muka bumi, tapi dokter berkata bahwa Eiffel memang sedikit ‘kelebihan
dosis’ dan menyarankan agar Rajendra mengganti susu formulanya dengan susu
kedelai. Dan sekarang, Eiffel justru tumbuh menjadi balita di atas rata-rata.
“Genious!” seruku karena dia mengambilkan
semua yang kuperlukan dengan tepat. Padahal aku sendiri lupa menaruhnya.
“Bye, Tomilu...”
“Bye...”
***
“Ponakan
lo yang di Facebook itu?”
“Jadi,
daddy-nya juga lagi di sini, Sha?”
“Eh,
main yuk ke rumah Shalu. Gue kangen masakan mamanya.”
“Alaaa.
Gaya lo. Lo mau godain bapaknya Eiffel kan?”
“Enggak ih, orang bapaknya Eiffel yang ngelirik gue.”
“Dih. Boro-boro
ngelirik elo, mandang elo sebelah mata aja ogah.”
Itulah
sebuah keributan kecil dari orang-orang tidak berguna itu. Saskha, anak salah
satu pejabat di negeri ini yang tidak punya pekerjaan yang lebih berarti selain
menjilati es krim bertotol kacang mede kesukaannya atau cemilan-cemilan berlemak lainnya. Louisa,
yang gemar dandan, belanja, fitness,
dan ikut casting atau audisi yang
mengantarkannya menjadi model susu bantal. Dmitri, peranakan Indo-Jerman,
tapi sering OOT (Out of Topic) dan ilang fokus. Zacky Hakiem, si Blackie,
yang agak gosong seperti pantat panci tapi playboy
cap kaleng krupuk. Dan Bagito, yang nama aslinya Baginda Sumitro, anak
seorang pengembang properti di Surabaya, dia satu-satunya manusia yang agak ‘jelas’
di antara kami karena walaupun kuliahnya amburadul, dia memiliki coffee shop yang sedang naik daun di
daerah tongkronger Dago.
Bagaimanapun,
aku pasti mencari mereka jika sedang kurang kerjaan. Jika sedang butuh
muka-muka gila mereka untuk sekadar tertawa, mengobrol basi, dan hal-hal tidak
berkualitas lainnya. Aku terpaksa berteman dengan mereka, karena mereka adalah satu
angkatanku yang masih tersisa di kampus.
“Sha,
kemarin lo motret di gedung merah ya?”
“Siapa
bilang?”
“Yayang
lo, kemarin papasan ama gue di Dago Pakar. Lo foto-foto kok enggak ngajakin gue
sih?”
“Apaan
sih lo, orang gue lagi motret buat lomba foto satwa. Lo mau jadi modelnya?”
“Udah,
terima aja. Lo kan lagi sepi job,” sahut Blackie.
“Sialan
lo!”
“Eh,
ntar-ntar, lo ketemu cowok gue di mana?”
“Di
cafe yang kita ngerayain ultahnya si
Demit kapan hari. Gue ke sono sama Saskha dan Bagito. Ya, guys?”
“Di
mana? Dago Pakar? Ngapain? Sama siapa?” tanyaku berentetan. Benakku segera
membayangkan hal yang macam-macam.
“Gila
lo. Parah banget. Kemarin kan lo janjian makan malam sama dia di sana, tapi lo
malah motret.”
“Lo
pikun atau gimana sih? Gue kagak ngarti. Cowok cakep-cakep kayak gitu lo
sia-siain.”
“Iya,
Sha, kasian banget. Lo tahu enggak, dia nungguin lo sampe cafe tutup.”
“Tapi...tapi
dia cuma sms nanyain gue di mana. Gue bilang, gue lagi ambil foto di gedung
merah. Habis itu, dia enggak sms lagi...gue bener-bener lupa.”
Louisa
mengibaskan tangannya ke udara. “Ya, dan dia sudah ngebuktiin kalau lo
bener-bener udah ngelupain dia.”
Aku
mencoba menghubungi nomornya tapi tak diangkat. Aku mencoba sekali lagi, dan
pada nada ‘tut’ yang ketiga, aku hanya memperoleh jawaban sibuk dari operator
yang berarti panggilanku ditolak.
Baiklah.
Aku tidak tahu ini sudah yang keberapa kali. Aku melupakan patung kayu pesanannya
ketika aku pergi ke Swiss, aku melupakan jadwal keberangkatannya ke Semarang sehingga
aku tak sempat sekadar bilang “Take care”,
“Cepat pulang”, atau “I’m gonna miss you”
sampai dia balik ke Bandung lagi, aku lupa kalau dia tidak suka udang dan malah
membawakannya udang tepung ketika dia sakit, bahkan aku baru saja melupakan
ulang tahunnya tapi aku pura-pura lupa sekalian dan merayakan malam harinya
dengan bantuan Saskha dan kawan-kawan. Dan mungkin ini yang tak termaafkan. Karena
malam itu adalah hari ulang tahun jadian kami yang kami rayakan setiap tahun.
Tapi
aku selalu berusaha memperbaikinya. Bagaimana tidak, kami telah merajutnya
sejak semester pertama di bangku kuliah. Sehingga begitu tak sampai hati melepaskan semua yang telah
kami rangkum selama itu.
Kami
satu kelompok ospek ketika kami sama-sama masih kuliah di Semarang. Aku masih bisa
mengingat bibirnya yang berkerut membiru dengan badan yang menggigil di bawah
hujan ketika menunggu aku bangun tidur di depan pintu pagar. Di malam Desember,
pukul tiga dini hari, tepat ketika bunga-bunga bakung di depan rumah bermekaran.
Dan itulah yang sebenarnya kunanti, aku juga telah menunggu lama. Ya, dalam
waktu yang lama, dia tidak kunjung mengungkapkannya, tapi ternyata dia sedang
sibuk memilih hari. Menunggu turunnya hujan. Agar lebih dramatis, katanya.
Kami
selalu bersama. Ada kamu, ada aku. Dan sebaliknya. Sampai-sampai kami menerima
sebuah predikat sebagai pasangan paling serasi di seantero almamater. Kami pun terus
bergandengan, semakin tak terpisahkan. Hingga ketika keluargaku harus tinggal
di Bandung dan aku harus berpindah studi di kota lautan api itu. Kami tak
putus asa, kami pun mendaftar lagi di kampus yang sama walaupun berbeda fakultas.
Namun semakin lama, kami justru semakin kehilangan arah. Dia seolah berjalan ke
barat, aku berjalan ke timur. Seakan kami tidak pernah bisa bertemu lagi.
Aku
mengakui, sedikit merasakan perjalanan alur yang monoton dan mudah ditebak,
hubungan kami terlalu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diperjuangkan. Bahkan
kadang aku sengaja mengundang keributan agar kami tampak seperti Romeo dan
Juliet. Selebihnya, aku tak mengerti. Aku malas untuk memikirkannya. Tapi satu hal yang
masih berpendar jelas, aku tidak pernah ingin ditinggalkannya.
Aku
memasuki pekarangan fakultasnya. Membaca nama fakultasnya dengan gelisah. Lalu
menyeberangi anak-anak yang ribut di lorong kantin. Mengabaikan siulan-siulan
mereka dan berjalan lurus di sepanjang koridor hingga di depan sebuah ruangan
aku bisa melihat dari belakang, seseorang berdiri bercakap-cakap dengan seseorang
yang lainnya. Aku memastikan bahwa seseorang yang memakai jaket hitam di atas t-shirt putih itu adalah dia.
Dia
berbalik.
Dan,
oh, astaga. Aku salah.
“Hai,
Shalu!” seru orang yang baru saja kutebak.
“Hai...Kak
Umay...” balasku dengan suara tersendat, sedangkan mataku melirik ke arah seseorang
di sebelah orang yang kupanggil Kak Umay itu.
“Eh,
Sha. Aku denger Eiffel udah sampai di Bandung, ya?”
“Iya,
Kak. Maen dong, jenguk Eiffel,” kataku, sedikit mengeraskan suaraku pada kata
‘Eiffel’ agar orang di samping Kak Umay mendengarnya. Agar dia bisa
mengambilnya sebagai alasanku melupakan malam itu.
“Oh,
ya, pasti. Aku tak sabar melihat kalian menimang anak-anak selucu Eiffel. Sudah
siap? Ha, ha,” ujar Kak Umay sambil
menepuk bahu orang di sampingnya.
Aku
tersenyum dengan satu sudut bibir. “Oh, ya, Kak Umay barusan ada acara apa?”
“Ini,
fakultasnya suamimu ada seminar technopreneur.”
Aku malu sekali mendengar Kak Umay menyebut orang di sampingnya dengan
sebutan ‘suami’.
“Kak
Umay jadi bintang tamu?” tanyaku, berusaha mengalihkan topik tentang aku dan
orang di sampingnya.
“Oh,
enggak. Ngisi aja. Ayo, mangga,
silakan. Aku duluan. Ntar aku hubungin kalian kalau mau lihat Eiffel.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,”
jawab kami berbarengan. Merasa aneh mendengar suara kami berpadu.
Ya,
orang yang mengenakan jaket hitam barusan adalah Umair Addreby. Adik sepupu
Rajendra dan teman baik almarhum Naftali. Sedangkan seseorang yang sekarang
berdiri di sampingku, dialah tujuanku ke sini. Dia, orang yang mengenakan kemeja berwarna biru dengan lengan yang digulung berpadu celana washed
jeans. Dan aku memutuskan jika dia
sangat tampan seperti itu. Auddry Enrizky. Itu dia.
Kami
berdiri lama hingga garuk-garuk, tapi dia tidak juga menanyaiku.
“Kenapa
malam itu kamu enggak bilang kalau kamu lagi nunggu di sana? Kamu kan tahu, aku
pikunan...” ujarku di antara sayup-sayup suara ribut dari arah kantin.
Dia
hanya mematung tanpa merubah posisi berdirinya. Beberapa saat kemudian, jemarinya
memenceti ponsel di genggamannya lalu memasukkannya ke dalam saku. “Aku masih
bisa terima saat kamu ngelupain ‘aku’, tapi aku enggak bisa terima kalau kamu
sampai ngelupain ‘kita’.”
Aku
melempar pandanganku membentur tembok. Kemudian menoleh, melihat wajahnya dari
samping dengan cemas. “Enggak bisa terima? Tapi masih bisa maafin kan?”
Dia
berdiri di depanku lalu menatapku. “Aku bener-bener pengin marah sama kamu!”
serunya membentak lalu memalingkan mukanya sambil mendesah. “Damn! Tapi aku selalu enggak bisa!”
Aku menautkan jari-jariku hingga membentuk
daun waru dan meletakkannya di dadanya, agak sebelah kanan atas, kira-kira di
jantungnya. “Love for you. Makasih,
Sayang...”
“Damn!” serunya lagi.
***
“Honey, kau ingin aku membawamu ke mana?”
tanyanya.
Itu
pertanyaan yang sederhana. Secara harfiah sangat sederhana. Jawabannya, aku
hanya ingin duduk di sampingnya. Di dalam mobil yang sedang bergerak. Berdua.
Membuka jendelaku, lalu melongokkan kepalaku untuk memandangi indahnya pendar
lampu-lampu di pinggir jalan. Terserah kemana. Yang jelas, aku tidak ingin
mobil ini berhenti, mogok atau sekadar berhenti di suatu tempat. Aku hanya
ingin berjalan.
Kau ingin aku membawamu
ke mana. Akan sangat rumit jika aku mengartikannya lebih
dalam. Kami sudah berjalan jauh. Seharusnya kami berhenti, mengakhiri
perjalanan jauh dengan duduk bersama di sebuah tempat yang lebih indah. Menggenggam
secangkir teh hangat sambil mengawasi anak-anak kami bermain riang di muka
rumah. Bukankah seharusnya itu yang kunantikan? Setiap perempuan di dunia ini? Bukankah seharusnya
dia adalah salah satu sebaik-baik pria karena berani menawarkan hal itu? Tapi
kenapa aku hanya ingin berjalan saja. Mau kemana? Aku tak tahu.
“My Love, jika kita berjalan saja seperti
ini terus, kita bisa kehabisan bensin...” katanya, dan kalimat itu terdengar
penuh arti di telingaku.
“Kau
tahu, kita bisa mogok, atau tersesat di jalan...” sambungnya, seperti menyambung
pikiranku.
Aku
menggigit ujung ibu jariku, lalu menoleh ke arahnya. “Oke. Kita berhenti untuk
istirahat...”
“Maksud
kamu kita break?” tanyanya, memberi
penekanan pada kata ‘break’ yang
menohok.
“Auddry!”
seruku. Aku merasa dia sudah berlebihan.
Dia
memejamkankan mata sesaat untuk selanjutnya menghela nafas. “Ya, kita berhenti
di baby shop itu. Kita cari sesuatu
yang lucu untuk Eiffel...”
Kami
berjalan mengelilingi rak baju bayi. Sedikit gugup melihat tatapan orang-orang
di sekitar kami. Mungkin mereka merasa aneh melihat pasangan dengan dandanan
yang masih imut sedang berkeliaran di butik perlengkapan bayi. Merasa janggal
melihat ibu muda mengenakan skinny jeans
dan sepatu ankle boots bersama
seorang ayah muda dengan dandanan yang tak kalah imut.
Kami
berdua saling pandang.
“Mereka
ngelihatin kita?” tanyanya.
Aku
mengangkat bahu.
Dia
merangkum jemariku kemudian menariknya. Menggandengku sehingga aku tetap
berjalan di belakangnya.
“Hey,
sumpah lucu banget!” serunya sambil menunjuk coat ukuran mungil di etalase khusus.
Aku
tertawa.
“Kamu
bisa bayangin enggak, kalau itu dipakai Eiffel?” tanyanya.
“Ha,
ha. Hermione Granger,” kataku.
“Tapi
ukurannya pas?” tanyanya sambil membolak-balik boneka manekin.
Aku
menengok kertas label di dalam baju. Untuk usia 4-5 tahun. Besar Eiffel yang di
atas rata-rata usianya, biasa memakai ukuran itu. Tapi aku tak sengaja melihat
harganya di sana. Oh my gosh!
“Enggak,”
kataku.
“Enggak?”
tanyanya.
“Enggak.”
Tutupku. Titik. Ayah Eiffel mungkin bisa mentransfer harga baju tujuh kali
lipat lebih mahal dari itu. Tapi siapa yang ingin membelikan baju itu? Auddry
tentu bukan dari kalangan tidak mampu, tapi aku harus berpikir seribu kali
ketika berbelanja dengan seorang cowok yang sudah memutuskan untuk mandiri dari
kedua orang tuanya. Tidak peduli dia anak pejabat atau pemilik saham operator
seluler sekalipun.
“Sudah?
Kamu enggak pengin cariin Eiffel sesuatu yang lain, apaan gitu? Perlengkapan musim hujan, mungkin?” tanyanya,
mengetuk lamunanku.
Aku
terkejut melihat seorang pramuniaga sudah mempreteli baju mungil itu dari
tempatnya.
Aku
menganga sambil mendongak panik ke arah wajahnya.
Dia
menepuk-nepuk kepalaku.
“Tapi
Sayang...ah, tapi...Sayang, aku enggak maksud, ah, maksudku...aku enggak mau
kamu seboros itu,” bisikku ke telinganya. Sementara aku melihat pramuniaga
melirik ke arah kami.
“Tidak
ada yang boros jika itu yang membuat aku bahagia. Kamu mau aku bahagia kan?”
bisiknya balik.
Aku menggigit bibirku.
“Sayang,
denger. Kemarin aku habis manggung dan baru saja dapat kontrak job dari label
yang aku ceritakan itu. Inget? So?”
dia membentangkan kedua telapak tangannya. “Enggak salah kan, aku menikmati
jerih payahku sendiri? Lagian aku bukan membeli barang yang enggak berguna.
Eiffel bisa memakainya kemanapun, dia tinggal di negara dingin dan selalu ikut
ayahnya datang ke acara-acara penting. Aku berharap dia selalu memakainya.”
Menikmati.
Aku terfokus dengan kata itu. Dia menyebut membahagiakan
orang lain sebagai menikmati. Aku
ingin mengucapkan ‘I love you’
kemudian membelai wajahnya, tapi pramuniaga itu semakin khusyuk memperhatikan
kami.
Ketika
kami sampai di depan pintu, Eiffel berlari menerjang ke arahku. Namun ketika
dia melihat orang di sampingku, dia melepaskan rangkulanku dan berjalan menjauh
lalu berdiri di belakang Mama sambil mengintip.
“Dia
justru malu sama orang yang sudah dia kenal tapi lama enggak ketemu...” kataku
kepada Auddry.
Auddry
menghampiri Eiffel yang bergayut di tangan Mama.
“Hai,
Eiffel...kamu sudah besar ya?” tanya Auddry sambil menggerak-gerakkan boneka
jerapah di depan Eiffel.
“Itu
lho, ditanya sama Om Auddry. Dikasih apa tuh sama om Auddry? Bilang apa?” ujar
Mama.
“Thank you...” sahut Eiffel sementara
tangannya mengambil boneka yang dipegang Auddry lalu berlari, bersembunyi di
balik badanku.
“Hey,
Ef, masih inget enggak sama Auyi? Remember? Auyi, yang pernah main kuda lumping sama Ef dulu. Kuda lumping,
kuda lumping, herrrr!” kataku.
Auyi
adalah nama panggilan Auddry ketika lidah Eiffel belum bisa mengucapkan huruf
‘r’ apalagi huruf ‘r’ di tengah. Dan ketika dia mendengar orang-orang memanggil
Auddry, dia ikut-ikutan memanggil Auddry dengan panggilan ‘Auyi’. Tapi Auddry menyukai
panggilan itu. Karena menurutnya, Auyi berarti “Aa’nya Uyik Una” atau “Ayangnya
Uyik Una”.
“Nah.
Lorenggo dan Kanggo punya teman baru. Eiffel mau kasih dia nama apa?” Aku mengangguk-anggukkan
kepala boneka jerapah sambil membuat suara yang aku rasa terdengar seperti
suara Woodpecker. “What’s my name, My
Little Princess?”
“What’s your name?” tanyanya sambil
mengetuk-ngetuk kepala jerapah.
“Jeroo...?” aku meneleng ke arahnya, menanyai pendapatnya.
Matanya
melihat ke arah bibirku lalu berkata menirukan, “Jeroo...”
“Yea, this. You name it!” seruku.
“Ayo
Nak Auddry, masuk dulu,” kata Mama sambil membimbing Auddry ke ruang keluarga.
“Auyiiiiiii!”
tiba-tiba Eiffel berteriak.
Ketika
Auddry memutar kepalanya, Eiffel kembali bersembunyi di belakangku.
“Lun,
dibikinin yang anget-anget dong...” ujar Mama kepadaku.
Aku
mengangkat kakiku untuk berjalan tapi tangan Eiffel bergelayut di kedua kakiku.
Sehingga, sementara aku berjalan, Eiffel menempel di kakiku seperti monyet
memeluk dahan pohon. Dia seperti itu hingga kami sampai di dapur.
“Kenapa
malu sama Om Auyi? Om Auyi ganteng ya?” tanyaku dengan suara berbisik.
“Wi...wi...wi...Hellooo? Yaaa? How’re you?
I’m goood...” Eiffel berbicara sendiri di lantai, tangannya sibuk memenceti
boneka barunya. “Hi, Auyiii...”
“Do you.......what?” Aku rasa Eiffel tidak sedang berbicara sendiri lagi. Aku
menoleh ke belakang.
“Hi, honey!” seruku.
“Kau
bisa memasak?” tanya Auddry dibarengi dengan gelak tawa.
“Oh, Lord, please stop him!” seruku lalu
ikut tergelak.
“I’ll help you...” ujarnya.
“Ah,
sudah, sana, pergilah...Ow, kau mau aku menambah kopinya lagi?”
“Oh,
ya, sedikit lagi...”
“Begini?”
“Oh,
ya, sudah, sudah. Cukup, cukup. Kau bikin apalagi?” tanyanya sambil membuka
tutup panci berisi rebusan air, jahe, serai dan daun pandan.
“Bikin
wedang,” jawabku.
“Wow,
aku enggak tahu perkembanganmu sepesat ini, Honey...”
ujarnya.
“Oh, stop it...ajak Eiffel keluar melihat
bintang. Kau gendong dia. Dia suka digendong dan bakal lengket terus sama orang
yang gendong dia,” kataku.
Tidak
ada suara. Aku menoleh. Auddry menatapku sambil mengernyitkan dahi.
“Aku
takut ntar dia kenapa-napa. Aku enggak bisa gendong...” katanya.
“Okay,” aku menghampiri Eiffel lalu
mengangkat tubuhnya. “Bunnie, do you
wanna watch the stars? You can go with Auyi. He’s so excited! Come on...”
“Sayang,
beneran, aku enggak pernah pegang anak kecil...” kilahnya.
Aku
menaruh tubuh Eiffel di atas lengannya. “Ayolah, lenganmu seksi. Kamu tahu,
cowok itu keren banget kalau lagi gendong anak kecil?”
“Oh my God, oh...berat banget...”
keluhnya.
“Beratan
mana sama karung beras? Pilih gendong anak kan daripada disuruh jadi manol?
Biar bisa ngerasain gimana rasanya jadi cewek,” ujarku.
“Here...like this!” perintah Eiffel sambil menggerakkan tangan
Auddry, bermaksud mengajari.
“Ya, all right,” katanya lagi lalu
melingkarkan tangan mungilnya di leher Auddry.
“Oh my God!” seru Auddry. “Here we go, baby. We’re gonna reach the
stars, okay?”
“This way. This way, Auyi!” Eiffel
menunjukkan jalan ke halaman belakang, ke arah kolam renang. Dan di sana memang
terlihat banyak bintang karena tempat itu adalah halaman yang paling lapang.
Aku
menuangkan santan cair dari kulkas lalu memasukkan potongan pisang ke dalam
rebusan. Tidak berapa lama, rebusan mendidih sambil mengeluarkan kepulan. Aku
mengambil potongan roti tawar yang kupanggang dalam oven. Membaginya ke dalam
tiga mangkuk lalu menyiram ketiganya dengan rebusan berisi potongan pisang, menghiasnya dengan irisan daun pandan dan strawberry, dan aku tidak pernah merasa seseksi Farah Quinn seperti
ini.
Ya,
dulu aku tomboy, tidak pernah menginjak dapur, tersandung ketika memakai rok,
dan terjerembab ketika memakai sepatu sol tinggi.
Walaupun kadang aku masih begitu, tapi sekarang tidak ada yang menyangka
bahwa dulu aku tomboy.
Sejak
kecil, aku tinggal bersama kakek dan nenekku di Semarang. Sedangkan ayah dan
ibuku beserta Brian, kakakku tinggal di Jerman. Aku dikirim ke Semarang karena
aku anak yang hiperaktif dan pernah menubruk perut ibuku yang sedang hamil
hingga mengalami keguguran. Mungkin, jika sempat besar, calon adikku itu sudah duduk
di bangku SMA.
Ketika
ayahku memutuskan membangun pabrik minyak atsiri di Indonesia, mereka semua
pindah ke Jakarta. Sementara mereka tinggal di Jakarta, aku masih tinggal
bersama nenek dan kakekku di Semarang karena aku merasa nenek dan kakekku sudah
seperti kedua orang tuaku. Namun menginjak semester ke-3, aku memutuskan ikut tinggal
bersama Papa, Mama, dan Brian kakakku. Bukan di Jakarta lagi, tapi di Bandung.
Karena Papa mendirikan kantor pusat di Bandung dan memperluas kebun nilam dan
beberapa bunga bahan baku minyak di Lembang.
Rumah
kami di Bandung ini, sekarang hanya ditinggali aku, Mama, dan Papa. Jika Papa
sedang berada di kantor, aku dan Mama seperti dua orang asing yang tiba-tiba
harus hidup bersama. Kami berdua tidak pernah bertengkar, hanya saja merasa
seperti sulit terhubung satu sama lain. Mungkin karena aku lebih lama tinggal
bersama nenek dan kakekku. Tapi entah kenapa, aku bisa lumayan akrab dengan
Papa dan bisa langsung dekat dengan Brian, kakakku. Mungkin karena Papa adalah
tipe orang yang spontan, mempunyai banyak lelucon, dan mudah akrab dengan siapa
saja, bahkan dengan satpam dan tukang kebun kami. Sedangkan dengan Brian,
usiaku hanya berbeda dua tahun sehingga kami mempunyai selera apapun yang masih
sejaman. Kami sering berjalan bertiga. Aku, dia dan Auddry. Kami pergi ke cafe, naik gunung, bermain bola di
pantai, berburu pemandangan di jalanan untuk difoto, memanggang daging barbekyu
di halaman belakang, menonton film, makan nasi goreng di pinggir jalan, bahkan
kami bertiga menyusun puisi untuk Naftali ketika dia mendekati almarhum kakak
iparku itu. Kehilangan itu benar-benar terasa ketika dia mendadak pergi untuk
selamanya.
Aku
jarang sekali berbicara dengan Mama. Tapi ketika orang lain datang ke rumah
kami, kami seolah-olah berpura-pura menjadi pasangan ibu dan anak yang hangat.
Namun yang terjadi, ketika aku di rumah, Mama hanya berkutat di kebun Chrysant dan Berry-nya dan sesekali masuk ke dalam rumah hanya untuk
bertanya apakah aku sudah makan atau sekadar menengok melewati kamarku.
Kadang
aku begitu iri melihat teman-temanku yang sangat dekat dengan ibunya, bahkan menganggap
ibunya sebagai tempat curhat bahkan layaknya sahabat, hingga bisa pergi ke mall atau salon bersama.
Aku
yakin ibuku adalah orang yang baik. Dan tidak diragukan lagi, dia sayang
padaku. Dia menangis ketakutan di telepon ketika mobilku dikabarkan menyerempet
sebuah angkutan. Hanya saja hubungan kami terlanjur kikuk. Terbata-bata dan
gaguk. Hingga kami kehilangan cara untuk mengungkapkan kasih sayang
masing-masing. Bahkan aku begitu bingung ketika tiba hari ulang tahun ibuku
sendiri. Selama ini, aku belum pernah mengucapkan selamat ulang tahun dan
memberikan hadiah khusus kepadanya sendirian. Aku selalu menelepon Auddry atau
Saskha dan kawan-kawan untuk datang menemaniku.
Mungkin
karena itulah, Mama menganggap Rajendra seperti pengganti Brian. Rajendra lebih
dekat dengan Mama daripada aku. Auddry juga dekat dengan Mama, tapi tidak
sedekat dengan Rajendra. Tapi aku yakin, setelah Auddry dan aku nanti menikah,
Auddry lah yang akan mengganti sosok Brian dan aku akan lebih dekat dengan
Mama. Aku pikir Rajendra bisa sedekat itu dengan Mama karena Eiffel. Dia pun
pernah beberapa kali menginap di rumah kami sehingga mereka mempunyai lebih
banyak waktu untuk mengobrol.
Sebelum
Eiffel tinggal di rumah kami, aku selalu menghabiskan waktu di luar dengan
kameraku. Aku memotret alam, bangunan tua, jalanan di sore hari dan beberapa
kali dibayar untuk memotret model iklan pamflet dan majalah komunitas. Aku tahu
bayarannya tak seberapa, tapi aku menyukai apa yang aku kerjakan dan aku merasa
butuh untuk melakukannya.
***
“Mana
Auyi, Uyik Una? Mana?” tanya Eiffel ketika aku baru saja keluar dari kamar
mandi. Dia melongok dari balik daun pintu kamarku sambil memeluk Jeroo,
Lorenggo dan Kanggo hingga mukanya terlihat menyempil di balik boneka-boneka
itu.
Aku
menggulung selimutku yang kusut di atas kasur yang berantakan lalu mengangkat
tubuh Eiffel ke atasnya. “Pulang ke rumahnya. Eiffel sih, kemarin rewel minta
telepon daddy. Jadinya, Auyi pulang
karena dicuekin Eiffel...”
“I’m so sorry...” katanya cemas dengan suara
rendah yang parau, wajahnya tampak begitu sedih.
Aku
segera memeluknya dan begitu menyesal telah mengatakan kalimat menyalahkan
barusan. “Hunnie Bunnie...Auyi sayang
sama Eiffel. Tapi Auyi harus pulang ke rumahnya karena dipanggil sama mommy-nya.”
“Will he come here again?”
“Yes, he will...”
“When?”
“Tomorrow, maybe...”
“So, next day?”
“Ya, may be. Are you missing him?”
“Yeeesss. Uyi Una, are Lorenggo and Kanggo older than me?” tanyanya sambil
meletakkan Jeroo di atas pangkuanku lalu mengangkat Lorenggo dan Kanggo
setinggi mukaku.
“Ya. Why would you ask that?”
“Well, daddy got them at the hospital on the
day I was born. Right?”
“Yea....yeah,” aku terbata, mengagumi
pemikiran bayi tiga tahun di sampingku yang telah mahir merangkai lebih dari
lima kata. “You were still in mommy’s
tummy when daddy bought them for you...”
“Okay. Now, sing!” jemari mungilnya menepuk bahuku. “Sing, Uyik Una, I want cha to
sing a song for me...”
“Sing what? Ah, ya. One
and one I love my daddy, two and two I love my granny, three and three I love
my auntie, one two three I love everybody....”
aku menyanyikan lagu ‘Satu-satu Aku Sayang Ibu’ dengan mengganti beberapa kata
dan membuat sedikit gerakan jari-jari tangan.
“Hey! Where is mummy?”
protesnya.
Mendengar
pertanyaannya, jantungku seakan meloncat dari tempatnya. Aku tak percaya
pertanyaan itu dicerna dari otak yang mungkin ukurannya masih sekepal tanganku.
“Mummy? Umm...oh, Ef, I dont know
what...ah, please...listen to me...”
aku bingung mengatakannya. “Eiffel punya daddy,
granny and auntie. So...Eiffel bisa
panggil ‘Mummy’ ke granny or Uyik Una...”
“No, daddy told me that ma mummy is an angel,
named Anjali. She lives overthere,” katanya sambil menengadah menatap
langit. “Daddy said, If I can be a good
girl, I can meet her...”
“Oh, yeah, you will. Good girl!” seruku, mengusap kepalanya.
Begitu mengagumi isi kepalanya.
“Do you know who got you the dress?”
tanyaku, menautkan kancing coat
mungilnya.
“No, you?”
“No, not me. Auyi got the dress for you. Do
you like it?”
“Yes, I do,” dia memainkan rambut di
dahiku. “I love Auyi.”
“And he loves you so much. Now, come on. Up,
up, all right,” aku mendorongnya, membantunya naik ke atas mobil lalu
memasang sabuk khusus bayi. Tapi tangannya terus bergerak menekan tombol klik
sehingga sabuk itu berkali-kali terlepas.
“Eiffel, do you still wanna go with me?”
tanyaku sedikit kesal.
Dia
segera melipat tangannya.
“Yeah, you better do that. Watch your head, watch your head!”
seruku sambil menutup pintu mobil.
“Luna,
jangan mampir-mampir. Cepet pulang lho ya,” pesan Mama dengan wajah khawatir.
“Everything’s gonna be all right, Mom...don’t worry, okay,” kataku. “Bye, assalamualaikum.”
Ketika
aku membuka pintu jokku, aku melihat Eiffel melepaskan sabuk pengaman dari
tubuhnya lalu melompat ke jok depan.
“Hey!” seruku.
“I wanna have a seat beside you,”
sahutnya.
“Okay. Have a seat. And don’t
forget, we...don’t...open...the windows. We don’t open the windows. You know why?” ujarku. Aku merasa
harus mengingatkan hal itu karena aku khawatir bayi itu memencet tombol jendela
sehingga kacanya turun dan melongokkan kepala atau mengeluarkan tangan dari
sana.
Dia
melihat bibirku sambil berkomat-kamit menggerakkan bibirnya.
“Jika
kita membuka jendela, kita bisa jatuh. Awww! Sakit! Ef pernah jatuh?”
“Yeeesss.
Twice.”
“Sakit?”
“Ya.
Di sini, Uyik. Di sini.” katanya, menunjukkan beberapa bagian tangan bekas luka
dengan antusias. “Sakit!”
“Okay. So? We don’t open...”
“We don’t open the windows.”
“Good girl!”
***
Sore
itu kami pergi ke supermarket untuk membeli shampoo, sabun bayi, minyak telon
dan beberapa keperluan Eiffel lainnya yang telah aku catat di secarik kertas.
Sepulang dari supermarket, tentu aku tidak begitu saja menepati janjiku kepada
Mama untuk segera pulang. Aku memutuskan berbelok ke kampus ITB, memarkir
mobilku di dekat Masjid Salman, lalu menggandeng Eiffel berjalan-jalan di taman
depan masjid dan kebun binatang.
Aku
menyukai suasana di kampus itu. Banyak hal-hal tua di sana. Bangunan tua,
pohon-pohon tua, dan burung-burung tua liar yang masuk daftar satwa lindung.
Aku
duduk di pinggir kolam taman depan masjid,
memandangi burung-burung yang buyar beterbangan dari rimbunan pohon,
anak-anak kecil yang naik di atas punggung kuda, lalu-lalang beberapa mahasiswa
berkacamata, dan membiarkan Eiffel berlarian di sekitarku. Sesekali aku
mengarahkan lensa kameraku ke arahnya. Bayi itu begitu photogenic diambil dari sudut manapun. Gambarnya selalu tampak
seperti foto hasil editan. Tapi aku kira kemampuan memotretku juga lumayan
bagus. Aku tidak membicarakan bagus menurut ilmu fotografi atau mengartikan
bagus dengan istilah-istilah yang rumit, karena aku tidak pernah mengambil
sekolah formal untuk fotografi, aku mempelajarinya dengan perkiraanku sendiri,
karena aku memang lebih suka mempelajari apapun sendiri. Aku kadang justru
bingung mempraktekkan sesuatu dari panduan orang lain atau buku. Jadi definisi
bagus untuk fotografi menurutku, model yang menyatu dengan latar, komposisi
warna yang unik, gerakan yang dramatis, ekspresi yang natural, tampak tak
sengaja, tak dibuat-buat, lentur dan penuh arti.
“Please, let me pass...” keluh Eiffel
ketika tiba-tiba seseorang berdiri membelakangi di depannya, menghalangi
jalannya untuk berlari-lari.
Seorang
perempuan yang sedang mengenakan jeans
pudar robek dengan rambut blonde bergelombang itu memutar badannya.
“Ohh.....! Hellooo...hello! Hi, sweetheart!
What’s your name?” teriak perempuan bule itu dengan heboh ketika melihat
Eiffel. Eiffel pun terkaget lalu berlari memelukku.
“How pretty lil’ girl. Your baby girl?”
tanyanya.
“Y...ya,” jawabku iseng.
“Lucky you having beautiful baby like her.
Oh, mind if I take a picture?” dia mengeluarkan kamera sakunya.
“I think, she doesn’t mind. You don’t mind,
Bunnie?” tanyaku ke arah Eiffel.
Eiffel
diam, matanya tak berhenti mengamati perempuan berkulit pucat itu dengan wajah
ketakutan.
Aku
memeluknya di bawah lenganku. “Don’t
worry. She is very kind. She wants to
make a new friend with you. ”
“Bye-bye...bye-bye...” ujarnya,
melambaikan tangan sambil menggeleng-geleng. Eiffel biasa melakukan hal itu
jika melihat sesuatu yang menakutkannya.
“No problem. I have taken the picture. Thank
you,” kata si gadis bule.
“Uyik
Una, come on. Come on, Uyik,” Eiffel
menarik-narik lengan jaketku.
“Haha,
okay. Okay, honey. She is really scared
with me. I have to go. Bye! Bye, baby!” seru perempuan bule yang tak sempat
kuketahui namanya itu sambil berlari dan melambai. Aku membayangkan namanya
adalah Chloe atau Mary, seperti nama beberapa teman dari negara asing yang
belajar di Ilmu Budaya. Mereka berkulit putih pucat, mempunyai beberapa bintik
merah di wajah, berbadan kaku serta tidak begitu cantik untuk ukuran
orang-orang barat. Eiffel mungkin ketakutan karena melihat orang yang terlalu
putih seperti kain pocong. Atau mungkin anak kecil biasa mempunyai firasat
tentang sesuatu yang buruk. Atau entah lah.
“Bunnie...you’ll be fine,” aku
menepuk-nepuk punggungnya.
“Come on, let’s go, come home,” Eiffel
menarik tanganku sekuat-kuatnya hingga badannya miring dan kepalanya nyaris
menyentuh tanah.
Aku
masih ingin mengajaknya ke kebun binatang. “Do
you wanna see Jeroo’s friend, Kanggo’s....”
“Nope! I wanna go home!” serunya.
“Okay. We’re gonna go home,” kataku
akhirnya.
Sepanjang
perjalanan menuju tempat parkir mobil kami, Eiffel mencengkeram genggaman
tanganku, wajahnya tampak gelisah dan khawatir seperti dikuntit sesuatu.
“Close the window! We don’t open the windows!”
serunya ketika aku menurunkan kaca jendela untuk memberikan uang kepada tukang
parkir.
***
Pagi
yang hangat. Bandung tetap dingin, hanya badanku telah menghasilkan energi panas
dari gerak lari-lari kecil mengelilingi tiga blok perumahan. Eiffel tampak
belum puas dan terus menarik-narik tanganku, membujukku untuk mengulangi satu
putaran lagi.
“Ef, please get me a bottle of water,” suruhku, berharap agar setelah berlari-lari mengambilkan
minuman, dia melupakan keinginannya.
“Ow, ya!” serunya lalu berlari dengan
antusias ke dalam rumah.
Aku
berdiri bersandar di depan kap mobil Papa yang terparkir di depan garasi sambil mendengarkan ‘What’s My Name’ versi duetnya
Rihanna dengan Erick Right dari IPod. Aku mengangguk-angguk setiap lagu sampai
pada lirik “Oh, na na what’s my name? Oh,
na na what’s my name?” dan bernyanyi lebih keras di bagian “Hey boy I really wanna see if you can go
downtown with a girl like me. Hey boy I really wanna be with you cause you just
my type oh uh na na na...”
Aku
berhenti bernyanyi untuk mengelap wajahku dengan handuk dan bernyanyi lagi di
bagian yang menurutku membuat suaraku serak dan seksi:
So I surrender to every
word you whisper
Every door you enter, I
will let you in
Dan
aku benar-benar seperti mendengar seseorang sedang berbisik. Aku menoleh,
tiba-tiba aku melihat wajah tersenyum menyembul di depanku.
Aku
melepaskan earphone-ku. “Ya?”
“Oh,
maaf. Aku liat anak kecil, cewek, cantik, lucu banget. Putrinya?” tanya gadis
itu.
Dia
mengenakan tank top berlapis jaket kaos
dan celana tukang sate berwarna putih dengan sepatu kets. Aku rasa dia juga baru pulang jogging. Itu artinya dia bertempat tinggal di sekitar rumahku.
“Oh,
ya, oh, maksudku, ya, dia tinggal di sini. Bukan putriku, tapi keponakanku,”
aku berkata sambil bertanya di dalam hati apakah wajahku begitu keibuan
sehingga aku pantas menerima anggapan itu.
“Ah,
ya, Sere,” dia menjabat tanganku.
“Luna,”
kataku. Aku pikir, keluargaku sering memanggilku Luna dan dengan begitu aku
tidak perlu menjelaskan hal-hal yang membuang waktu jika beberapa saat lagi dia
mendengar Eiffel memanggilku Uyik Una.
“Uyik
Una! Ini, Uyik Una! Ini!” teriak Eiffel, tergopoh-gopoh sambil menyodorkan
sebotol air dengan kedua tangannya ke arahku.
“Heeeyyyy!” pekik gadis itu setelah
melihat Eiffel.
Eiffel
benar-benar mempunyai banyak penggemar. Pikirku.
“Bunnie, say something nice untuk Tante
Sere...” kataku.
“Hi, Serenina, whazzzzup? Good to see ya,” ujar Eiffel dengan bahasa slang-nya.
Awalnya
aku berpikir bahwa kata terusan ‘nina’ merupakan bagian dari bahasa slang Eiffel. Tapi setelah melihat
senyum Eiffel yang mengembang akrab ke arah orang yang dipanggilnya Serenina,
aku menjadi curiga akan sesuatu.
“Hi, fine, honey. How’s your daddy?”
tanya Serenina.
“I haven’t called him yet today,” jawab Eiffel.
Aku
mengusap rambut Eiffel dengan ribuan pertanyaan di kepala.
“Adikku
pernah menjadi sahabat dekat ayahnya. Dan kami bertetangga di New York. Kau
masih bingung?” tanyanya sambil tertawa.
“Oh,
astaga. Jadi begitu. Ya, ya...oh ya, kita juga bertetangga?” tanyaku.
“Untuk
beberapa hari ini iya. Aku cuma liburan di sini, nginep di rumah temen. Aku
asli Surabaya.”
“Surabaya?
Aku punya Bude di Surabaya,” kataku.
“Oh
ya?”
Semakin lama kami mengobrol, semakin kami
menemukan banyak kebetulan. Hingga akhirnya aku mengajaknya masuk ke dalam
rumah. Kami bercerita tentang kegiatan Eiffel sehari-hari ketika di New York.
Aku baru tahu bahwa Eiffel bisa naik sepeda kecil dengan roda tambahan.
Kami
juga membicarakan rumah kakak perempuan ibuku di Surabaya yang letaknya hanya
lima kilometer dari rumah Serenina. Lalu dia bercerita tentang asal-usul
persahabatan Rajendra dengan adiknya yang bernama Karenina yang sedang
melanjutkan kuliah S3-nya di Jepang. Dia bercerita tentang rencana liburannya
di Surabaya dan aku bertanya dengan rasa ingin tahu yang besar tentang
asal-usul nama makanan ‘tempe penyet’, apa itu hewan ‘suro’, mengapa aku harus
mengunjungi Jembatan Suramadu yang dia rasa bisa menjadi objek pemotretanku, bangunan-bangunan
tua di sana sehingga Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan, taman-taman di
Surabaya yang menjadikan kota panas itu sebagai Kota Ramah Lingkungan se-ASEAN,
cerita lucu tentang bahasa Suroboyoan. Dan beberapa menit kemudian, aku begitu
terpengaruh untuk mengunjungi kota itu. Aku bertanya lagi tentang bagaimana dia
bisa mendapatkan kemampuan promosi wisata yang bagus seperti itu, dengan
sedikit berlinang air mata, dia menjawab, “Adikku. Dia pernah menjadi duta wisata
dan giat mempromosikan wisata Indonesia di luar negeri. Kami adalah sepasang
saudari yang saling menyayangi. Tapi, bertahun-tahun kami belum bisa bertemu,
karena dia begitu konsen dengan kuliah dan pekerjaannya di sana.” Selanjutnya cerita
menyebar tentang ibunya yang pernah menjadi partner bisnis almarhum kakak
iparku, Naftali. Tentang ayahnya yang begitu menggilai pekerjaannya hingga
jarang menyambangi rumah. Di akhir cerita, dia membuatku begitu merasakan
empati kepada adik yang diceritakannya dan sedikit merasakan ketidakberesan
dengan semasa hidup almarhum kakak iparku. Ah, tapi sudahlah, tidak baik
mengungkit-ungkit orang yang sudah tidak ada. Pikirku.
***
Ketika
aku menyerahkan segelas susu itu kepadanya, dia menggeleng.
“No, Uyik. Diaduk like this!” Eiffel merebut sendok dari tanganku kemudian mengaduk-aduk
air susu di dalam gelas tanpa henti.
“Okay. That will do. All right, that’s it! Eiffel?”
Eiffel
terus mengaduk.
“Eiffel,
can you hear me? Eiffel! Eiffel, no!” seruku sambil menggeser gelas
agar dia berhenti mengaduk. Tapi apa yang aku lakukan justru membuat sendok
yang dipegang Eiffel terlempar ke lantai.
Aku
buru-buru mengambil sendok itu dan memasukkannya lagi ke dalam gelas. Aku penganut
teori ‘belum lima menit’ dari iklan pembersih lantai. Sehingga aku pun
menyodorkan gelas itu lagi ke arah Eiffel.
“Gak
mau, dirty...belum dicuci...cacingan,
Uyik...sakit perut...” Eiffel menggeleng-geleng.
“I told you, but you didn’t listen. And now, do you see that?” ujarku. “Sendoknya
jatuh. Uyik Una enggak mau bikinin lagi, karena Ef enggak mau dengar.”
Dia
menggambil gelas susunya dari tanganku. Lalu melepaskan gelas plastik itu dari
tangannya hingga air susu itu tumpah menggenang di lantai.
Gigi-gigiku
bergemeletuk. Ingin rasanya aku mengayunkan tangan yang telah terkepal. Tapi
aku mengurungkannya, berpikir bahwa lebih baik aku menghela nafas dan mengurut
dada.
“Uyik
Una enggak suka!” seruku sambil beranjak meninggalkannya.
Aku
menutup pintu kamarku. Melemparkan tubuhku ke atas kasur lalu menopang daguku
dengan bantal.
Ini
adalah yang pertama kalinya aku menunjukkan kemarahan kepada Eiffel. Sekaligus
yang pertama kalinya juga Eiffel menunjukkan kenakalan yang tak terduga. Aku
berdoa agar tidak terjadi yang kedua kalinya, ketiga, keempat dan seterusnya.
Tidak, aku mohon.
Aku
menundukkan kepalaku, bertanya kepada bantal apa yang telah aku lakukan.
Ketika
tanganku baru saja ingin menekan nomor kontak Auddry di ponselku, pintu kamarku
tiba-tiba diketuk. Aku mengaduh sebelum akhirnya membukakan pintu.
Mama
berdiri di depan pintu sambil menggandeng Eiffel. “Dia pengin kamu yang
teleponin daddy-nya. Dia enggak mau
Mama yang pencet teleponnya.”
“Uyik
Una, would you call him up right now?”
tanyanya sambil melingkarkan tangannya ke lenganku. Melihat matanya, aku tak
sanggup.
Aku
menelepon dengan ponselku. Pada nada sambung kedua, telepon langsung diangkat.
Aku segera menyerahkannya kepada Eiffel.
“Helloo...yaa...umm, ya...what are you doin’?
Okay...ow, ya!” Eiffel berjalan
mondar-mandir sambil menaruh tangan kirinya di atas pinggang, sementara tangan
kanannya menempelkan ponsel di kuping. “Yes
I do...main ama Uyik Una...yaaa...ama Granny...yaaa...I love you daddy...sudah ya...Ef feels so sleepy, bye daddy!”
Eiffel
mengucek mata sambil menyerahkan ponsel kepadaku dalam keadaan masih bersuara.
Aku terpaksa mematikannya saat suara Rajendra masih terdengar karena Eiffel mendorong
ponsel itu lalu menarik tangan Mama, mengajak pergi tidur.
Aku
menutup pintu kamarku lagi. Duduk di pinggir tempat tidur, memencet nomor Auddry,
dan mendengar nada sibuk. Aku me-redial
nomornya, dan terdengar nada sibuk lagi. Aku melemparkan ponselku ke atas
kasur, dan ponselku berdering.
“Hallo.
Lagi apa, Sayang?” tanyanya.
“Lagi
sibuk nelepon ke nomor kamu, tapi kena nada sibuk mulu.”
“Ya
tuhan. Oh ya?”
“Ya,
kita saling menghubungi. Saling punya pikiran untuk menghubungi.”
“Haha.
As usual, aku enggak bisa tidur.
Berharap kamu juga enggak bisa tidur. Sama-sama enggak bisa tidur karena saling
memikirkan. Doaku terkabulkan. Thanks God...”
“Tapi
aku enggak sedang mikirin kamu...”
“Lalu?”
“Mikirin
kita berdua...”
“Yeah, that’s what I’m saying. Apa kabar
Eiffel?”
“Hari
ini aku agak ribut sama dia. Ya abisnya...” tiba-tiba aku melihat Mama membuka
pintu kamarku. “Sayang, talk to you later
ya...kayaknya Eiffel rewel lagi. Love you,”
aku menutup teleponku.
“Luna,
tolong kamu turun ke bawah. Mama enggak ngerti maksudnya Eiffel,” kata Mama.
Eiffel
menangis di tempat tidurnya sambil merangkul ketiga bonekanya.
“Hey, Ef. Kenapa? Ef minta apa?” tanyaku.
Dia
meninggikan nada tangisnya, kakinya menendang-nendang selimut di atas tubuhnya.
“Please tell me, what do you want. Ef
lapar? Ef haus? Ef mau minum susu?”
Dia
menggeleng-geleng sambil menambah jeritan tangisnya.
“Ef
sakit? Mana yang sakit?” tanyaku sambil memegangi leher, tangan, kaki, dan
perutnya. Mungkin digigit semut. Pikirku. Tapi dia malah menendangku.
“Ef,
Granny sama Uyik enggak bakalan
ngerti kalau Ef cuma nangis jerit-jerit.”
Dia
menarik tanganku.
“Iya,
apa? Bilang, talk to Uyik Una. You just talk to Uyi Una or Granny.”
Dia
malah membanting-banting tanganku.
“What is
it? Now, what!” bentakku.
Dia
melepaskan tanganku, mengusap kelopak matanya sambil cegukan.
“Okay, kalau Ef tetap nangis kayak gitu,
enggak ada yang suka sama Ef! Uyik dan Granny
mau pergi aja!” kataku pura-pura beranjak.
Eiffel
menegakkan badannya lalu menarik kedua tanganku. “Telephone. Telephone.”
“Apa?
Telpon daddy?”
Eiffel
manggut-manggut.
“Maksud
kamu itu apa sih, Ef? Gitu aja enggak mau bilang,” gerutuku.
Aku
memencet nomor ayahnya di daftar panggilan. Aku harus mengulang menekan
nomornya karena tidak ada jaringan. Aku menunggu hingga sinyal jaringan penuh. Beberapa
saat kemudian, panggilanku berhasil masuk. Seperti biasanya, aku langsung
menyerahkan telepon kepada Eiffel. Tapi tak tahu kenapa, dia langsung
mendorongnya ke arahku. Ketika aku menjejalkan ke arahnya lagi, dia marah
sambil memukul-mukul kakinya.
Sial.
Aku harus berbicara dengan Rajendra.
“Ya, hello,
Sweetie?” sapanya.
“Oh,
bukan. Ini Shalu,” sahutku.
“Oh,
maaf. Ada apa, Shalu?”
“Barusan
Eiffel minta telepon, tapi dia enggak mau bicara. Dia juga agak rewel, kenapa
ya? Enggak tahu sebabnya apa.”
“Mau
minum susu, mungkin?”
“Enggak.”
“Bonekanya
dimana?”
“Lagi
dipeluk sama dia.”
“Atau
habis mimpi?”
“Enggak,
dia belum sempat tidur.”
“Oh.
Apa ya? Ya biasanya dia nangis karena hal-hal kayak gitu. Oh, coba, aku ngomong
sama dia.”
Aku
menyodorkan telepon ke arah Eiffel lagi. Dia mulai heboh lagi. Aku segera
menjauh dengan gagang teleponku.
“Enggak,
dia enggak mau.”
“Apa
setiap malam dia kayak gitu?”
“Kayaknya
ini yang paling parah. Biasanya dia cuma susah disuruh tidur. Tapi barusan dia
nangis jerit-jerit tanpa sebab.”
“Oh,
maaf ya, jadi ngerepotin semuanya.”
“Enggak,
maksudku enggak kayak gitu. Aku enggak sedang bilang kalau kami semua di sini
direpotkan. Dia anak kandung kakakku. Tapi dia lama tinggal bersamamu, jadi
kami enggak tahu kebiasaannya kayak apa,” kataku. Aku sadar kata-kataku itu
agak menyinggung perasaan. Terutama kata-kata ‘Dia anak kandung kakakku’ yang
seolah-olah mengingatkan hubungan yang sebenarnya antara dia dan Eiffel. Karena
aku sendiri juga tersinggung ketika dia mengucapkan kata maaf yang menurutku
tidak tepat untuk diucapkan. Kata maaf itu terdengar seperti seolah-olah kami
adalah orang asing bagi Eiffel, pengasuh bayaran atau tempat penitipan anak.
Kami
pun saling diam di ujung telepon begitu lama. Aku tidak tahu harus membicarakan
apalagi. Aku memutar kepala untuk melihat Eiffel. Dia duduk tak bersuara sambil
mengawasiku dari tempat tidurnya.
“Okay. Kayaknya sekarang Eiffel udah
baikan,” kataku.
“Oh
ya, salam buat Granny. Maaf kalau
malem-malem Eiffel suka gangguin orang. Besok aku telepon lagi, aku akan bicara
sama Eiffel.”
“Ya,
enggak masalah. Sementara gitu dulu, makasih,” aku menutup telepon tanpa
menunggu jawaban di seberang. Entah kenapa aku tidak suka dengan kata maafnya.
Masih
dengan mata terpejam, aku menangkupkan bantal ke wajahku dan menguap.
Sebenarnya aku ingin meneruskan tidurku paling tidak setengah jam lagi. Tapi tiba-tiba
rongga hidungku disengat bau bawang goreng bercampur pedas cabe dan merica yang
harum. Aku memutuskan membuka mata dan bergegas turun dari tempat tidur.
Benar
saja, ketika aku sampai di tangga, aku melihat pemandangan gaduh di dapur.
Seseorang dengan rambut mohawk
mengenakan celemek, di sampingnya berdiri gadis kecil yang tampak ribut dan
terus bergerak.
“Is really that you?” tanyaku tak
percaya.
Dia
berbalik ke belakang bersama bala kecilnya.
“What are you all doing there? Oh my god,”
aku rasa mataku sedikit berkaca-kaca.
“Oh, Hunnie Bunnie...what is that?” Aku
terperangah melihat meja makan yang telah berisi piring-piring dan sendok yang
tertelungkup rapi, semangkuk potongan buah, beberapa gelas susu kedelai yang
masih berkepulan, dan sepiring besar nasi goreng bertumpuk irisan telur dadar
yang berhias daun selada, potongan tomat dan acar mentimun.
Auddry
membuka celemeknya dengan gerakan yang seksi. Membuka talinya pelan-pelan, dan
dengan mengagetkan, dia mengebutkan kain celemek seperti seorang pesulap
membuka kacu ajaibnya.
Aku
tertawa bersama Eiffel.
“Welcome, My Queen...and My Little Princess,
here you are,” katanya sambil mengangkat tubuh Eiffel ke atas kursi.
“Kalian
berdua yang menyiapkan semuanya?” tanyaku.
Auddry
melakukan toast dengan Eiffel.
“Oh, Dear Lord!” kataku.
Kami
menengadahkan kedua tangan sambil membaca doa sebelum makan seperti yang
diajarkan di bangku TK. Eiffel begitu menyukai ritual itu dan meminta Auddry
mengulangnya berkali-kali. Menyuruh semua orang tetap menengadahkan tangannya,
tidak boleh memegang sendok, dan menangis jika orang melanggarnya.
“Eiffel,
Tuhan Maha Mendengar. Kau tak perlu membaca doa berulang-ulang seperti itu.
Cukup satu kali, Dia sudah mendengarnya. Jika kita mengulang-ngulangnya terus,
itu justru terdengar berisik bagi-Nya,” kataku kesal mendengar rengekannya yang
mulai berisik.
“Little Mama...” ujar Auddry sambil
berkedip ke arahku, mencoba menetralkan emosiku.
“Maaf,
Hunnie...” kataku, menyesal karena
telah membuat suasana tidak enak dan nyaris membuat berantakan acaranya.
“Aku
tahu kok ini tanggal berapa,” katanya
sambil mengerling. Ya, dia hafal jadwal ‘lagi dapet’-ku karena dia sering
menjadi korbannya.
Karena
pertimbangan itulah dia membuat kejutan seindah itu pagi ini. Karena di
‘tanggal-tanggal merah’ itulah aku biasa bangun lebih siang sehingga dia bisa
menyiapkan sarapan pagi ketika aku masih memeluk guling.
“Gimana?”
tanyanya ketika sesendok nasi goreng itu masuk ke dalam mulutku.
“Sexy food!” seruku. Bagiku, enak atau
tidak, tak ada bedanya. Nasi goreng itu akan tetap seksi selama dia yang
memasaknya.
Sementara
aku menyuapi Eiffel, dia menyuapiku.
Email me at novrats@gmail.com to get the complete Bunnyberry :)
No comments:
Post a Comment
Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)