HOME | ABOUT | WHAT'S ON MY BOOKSHELF | MOMENTS OF MINE | MY FUN TRIVIA | MY TRAVELOGY | FREEBIES | SNEAK PEAK | MY TWO CENTS | MY LINKS | FAQ

Bunnyberry is one of the trilogy of Flashberry (Rajendranjali). It consists of 150 pages. Here you can read the sneak peak (45 pages). And you can email me to get the rest. Hope you guys like it :)

 

The Little Bunny
Bulir-bulir air berguguran dari dedaunan yang berlambaian dihembus angin yang menerjang di antara remang-remang kabut. Hujan deras yang baru saja berlalu menyisakan dingin yang mencekat. Aku tak berhenti merapatkan jaket sambil mematut melihat pemandangan di bawah pohon jeruk.
Gadis kecil yang memakai rok lipit itu berdiri di depan pintu mobil bersama seorang laki-laki muda yang berjongkok di hadapannya.
Sweetie...Daddy will call you every night. To say good night...
Promise?
I do promise. Love you, my little one...” ujar ayah muda itu lalu mengecupi muka si gadis kecil hingga rambut ikalnya berantakan.
Love you too,” sahut gadis kecil sambil mengucek matanya. Aku tahu dia ingin menangis tapi malu melakukannya.
Aku bergeser mendekati si gadis kecil, mengangkat tubuh mungilnya untuk kugendong.
“Cah ayu, mboten pareng nangis nggih...1 kata si ayah sembari menurunkan kaca mobilnya. “Beautiful princess tidak pernah nangis, because kalau nangis, matanya bisa berkantung kayak saku kangaroo...Ooo, that's sooo spooky!
Oh, stop...” pinta si gadis kecil menghentikan tingkah berlebihan ayahnya.
Bye, Eiffel. Granny, Uyik Una...” sang ayah mengangguk sembari melambai.
Aku mengangguk-anggukkan kepala ke arah lantai trotoar di sekitar sandal jepitku.
“Hati-hati, Nak Rajendra...” sahut Mama di belakangku.
Gadis kecil berumur tiga tahun itu bernama Eiffelyn Nilofar. Eiffel lahir di Paris ketika Rajendra membawa Naftali, istri almarhum kakakku, ke sana setelah pernikahan secara agama. Namun sekembalinya di Indonesia, ketika undangan pesta baru dicetak, Naftali meninggal dunia.
Aku menyukai Eiffel. Tapi tidak menyukai nama belakangnya. Seharusnya Eiffel memakai nama belakang ‘Althaf’. Dengan mengubur nama ayah kandung Eiffel, aku pikir Rajendra telah menghilangkan asal-usul Eiffel.
Aku menyukai gadis kecil yang menggemaskan itu. Hingga aku memakai alamat email, nama blog, dan beberapa password yang mengandung unsur namanya. Ya, bagaimanapun, Eiffel adalah keponakan pertama sekaligus terakhir dari almarhum kakakku. Apalagi keponakan secantik dan selucu dia. Dan karena begitu menggemaskan dan lucunya dia, maka aku selalu memanggilnya ‘Bunny’ atau ‘Tomilu’.2
“Uyik Una, do you see my Kanggo?” ujarnya, menanyakan boneka Marsupilami-nya.
Granny tahu mereka sedang sembunyi di mana,” jawabku, berharap agar dia bermain dengan neneknya, dan aku bisa menyelesaikan tugas-tugas kuliahku di kamar.
Namaku bukan Uyik Una. Namaku Shaluna Althaf. Aku sering dipanggil ‘Shalu’. Dan dipanggil ‘Luna’ oleh keluargaku pada saat-saat tertentu. Karena aku tidak ingin tampak seperti seorang ‘tante’, maka aku menyuruh Eiffel memanggilku dengan panggilan Jawa, ‘Bulik Luna’. Tapi tiba-tiba namaku berubah menjadi ‘Uyik Una’ di lidah Eiffel yang saat itu masih berumur dua tahun.
Eiffel tiba dengan ayahnya malam itu sambil memeluk boneka loreng-loreng bernama Lorenggo dan boneka kangguru bernama Kanggo. Mama begitu histeris sejak melihat kedatangan mereka dari tirai jendela. Hingga menyuruh aku segera berlari keluar rumah untuk membantu Rajendra menyeret sebuah koper yang dibawanya. Dan begitu kesal ketika Rajendra tidak menolaknya.
Koper itu berisi semua perlengkapan Eiffel, dari rok dan kaus kaki hingga syal  dan bolero dengan potongan yang fashionable dan bahan yang tampak mahal. Aku rasa Rajendra mempunyai desainer khusus untuk baju-baju Eiffel. Karena dia sering membawa Eiffel kemanapun, menghadiri acara-acara internasional dan beberapa syuting film ketika dia menjadi bintang di sebuah film lokal tentang budaya di Prancis.
Untuk beberapa bulan ke depan, Eiffel dititipkan di sini, bersama aku dan Mama. Karena Rajendra sedang menggarap penelitian di sebuah negara terpencil di Afrika. Selama Rajendra pergi, sebenarnya Eiffel bisa tinggal bersama orang tua Rajendra di New York atau ibu almarhum Naftali di Jawa Timur. Tapi Mama berkeras meminta Eiffel untuk tinggal di Bandung.
Sejak kepergian kakakku, entah kenapa, Mama justru menganggap Rajendra sebagai pengganti Brian, kakakku. Tutur katanya yang tenang dan terdengar bijaksana seperti seorang pangeran dari Hastinapura memang membuatnya menjelma menjadi Arjuna di mata ibu-ibu. Tapi tidak untukku. Aku tidak pernah berharap mempunyai kakak seperti itu. Bagiku, Brian adalah kakakku yang tak tergantikan.


My Nicest Bunny Ever
Hi, Uyik Una!” serunya ketika aku menuruni tangga.
Aku berjongkok lalu memutar kursi yang didudukinya ke hadapanku. “Hi, Bunnie!
Dia tersenyum sambil menjulurkan lidah. Matanya bening berkilau dengan kelopak menjorok ke dalam, bibir mungilnya merah seperti buah raspberry. Dia teronggok seperti buah segar yang manis. Hingga tanganku tidak bisa diam, begitu gatal ingin mencuil pipinya, meremasi jari-jari mungilnya, dan menyesap baunya. Bentuknya begitu lucu.
Granny sedang bikin apa, Ef?” tanyaku.
Granny bikin apa?” tanyanya balik seperti berusaha menirukan kalimatku. Dia selalu menyukai kata-kata baru dan akan memperhatikan baik-baik setiap kata baru yang didengarnya.
Eiffel juga menyukai musik dan gerakan tubuh. Dia mempunyai kemampuan mengharmonikan gerakan tubuh dengan irama musik yang didengarnya. Pada usia satu bulan, dia menggerak-gerakkan kakinya ketika diputarkan lagu odong-odong. Pada usia tiga bulan, dia menambah gerakan tangan. Pada usia lima bulan, dia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar musik DJ di mall. Pada usia tujuh bulan, dia melakukan gerakan patah-patah menirukan kipas angin rusak. Pada usia satu tahun ke atas, dia memiliki beberapa gerakan menghentak-hentakkan kaki bermaksud menirukan break dance. Pada usia dua tahun, dia berdansa waltz bersama ayahnya. Tapi akan lebih tertarik mendengarkan Jangkrik Genggong, Ande Ande Lumut, Walang Kekek dan beberapa musik  langgam Jawa. Aku rasa itu ajaran ayahnya.
Menurutku, Eiffel jenius di bidang seni dan pemikiran sosial. Dia mudah mempelajari nada dan tarian bahkan dengan cepat menirukan bahasa slang Amerika hanya karena mempunyai pengasuh seorang perempuan Nigger, dia suka memilih bajunya sendiri menurut warna dan keserasiannya, mempunyai komentar bagus dan jelek tentang apapun yang dilihatnya, tidak pernah takut melihat orang asing, selalu menyenangkan jika bertemu orang baru, kata-katanya cerdas melampaui balita sepantarannya bahkan cenderung mempunyai pemikiran yang tak terduga seperti orang dewasa, mempunyai kemampuan mengatur dan memegang kendali, seperti misalnya, Granny harus duduk di sana, memasak ini, atau melakukan itu. Tapi mempunyai perhitungan yang payah, dia tidak bisa memperkirakan jarak, panjang, lebar, atau tinggi sesuatu dengan tepat sehingga dia gampang jatuh, menabrak, atau membentur sesuatu.
What is that, Granny?” dia berdiri menjajari Mama lalu berjinjit sambil mendorong buah berwarna merah di atas meja.
Kinda delicious phytos...” Mama menyebut buah-buahan dan sayuran berwarna dengan nama phytos, dari kata phytonutrients, agar terdengar enak dan lucu di telinga anak-anak kecil.
 “Come on, kasih lihat ke Uyik Una. Uyik Una juga mau breakfast,” ujar Mama sambil menyerahkan sebuah piring bayi.
Okay,” katanya sambil mempelajari isi piringnya. “But, Granny. Ef tidak suka tomato.”
“Tidak, Granny tidak menaruh tomato di sana. Come on,” ujar Mama sambil berkedip ke arahku lalu mengangkat tubuh Eiffel ke atas kursi.
I don’t like tomato, Granny...” gerutunya sambil mencungkil irisan-irisan tomat di sela-sela nasi goreng dengan garpu plastiknya.
 Aku tertawa sambil mencolek dagunya.
Dia berhenti mencungkil kemudian mendongak ke arah mejaku.
“Mana punya Uyik Una?” tanyanya dengan wajah sedih lalu terjun turun dari kursi tanpa mengira-ngira tingginya.
“Hey!” seruku sambil memeganginya.
Dia mengibaskan tanganku lalu berlari ke dapur. “Granny, mana punya Uyik Una?”
“Iya, Nak, apa?” tanya Mama sambil mengusap kedua tangannya pada celemek.
“Uyik Una. Nasi goreng Uyik Una!” serunya dengan muka marah-marah.
Aku menghampirinya, menciumnya dengan gemas. “Bunnie, Uyik Una cuma makan roti karena Uyik mau pergi. Ef tahu selai peanut di mana?”
Ow, wait! Wait!” katanya sambil berlari ke meja makan, memanjat ke atas kursi, berdiri di atasnya untuk mengambil sebotol selai, turun lagi, lalu menyodorkan selai kepadaku sambil berseru heboh. “This! This, Uyik Una!”
Tentu saja aku tahu letak selai itu walau sambil memejamkan mata sekalipun, tapi aku hanya ingin membuatnya senang. Dia suka sekali disuruh atau membantu orang dewasa hingga sibuk mondar-mandir. Eiffel mempunyai sedikit perilaku aktif yang berlebihan yang membuatnya tidak pernah berhenti bergerak, memegangi semua barang-barang di sekitarnya, dan susah tidur di malam hari. Perilaku itu begitu parah ketika dia masih berusia tujuh bulan dan berlangsung hingga dua tahun. Dia berputar-putar, berlari kesana-kemari, dan memanjat jendela. Bahkan Rajendra pernah mencurigai Eiffel mengidap autis, lalu membawanya ke pediatrik. Ternyata Eiffel hanyalah sejenis anak hiperaktif seperti anak-anak aktif lain yang bertebaran di muka bumi, tapi dokter berkata bahwa Eiffel memang sedikit ‘kelebihan dosis’ dan menyarankan agar Rajendra mengganti susu formulanya dengan susu kedelai. Dan sekarang, Eiffel justru tumbuh menjadi balita di atas rata-rata.
Genious!” seruku karena dia mengambilkan semua yang kuperlukan dengan tepat. Padahal aku sendiri lupa menaruhnya.
Bye, Tomilu...”
Bye...”

***

“Ponakan lo yang di Facebook itu?”
“Jadi, daddy-nya juga lagi di sini, Sha?”
“Eh, main yuk ke rumah Shalu. Gue kangen masakan mamanya.”
“Alaaa. Gaya lo. Lo mau godain bapaknya Eiffel kan?”
“Enggak ih, orang bapaknya Eiffel yang ngelirik gue.”
“Dih. Boro-boro ngelirik elo, mandang elo sebelah mata aja ogah.”
Itulah sebuah keributan kecil dari orang-orang tidak berguna itu. Saskha, anak salah satu pejabat di negeri ini yang tidak punya pekerjaan yang lebih berarti selain menjilati es krim bertotol kacang mede kesukaannya atau cemilan-cemilan berlemak lainnya. Louisa, yang gemar dandan, belanja, fitness, dan ikut casting atau audisi yang mengantarkannya menjadi model susu bantal. Dmitri, peranakan Indo-Jerman, tapi sering OOT (Out of Topic) dan ilang fokus. Zacky Hakiem, si Blackie, yang agak gosong seperti pantat panci tapi playboy cap kaleng krupuk. Dan Bagito, yang nama aslinya Baginda Sumitro, anak seorang pengembang properti di Surabaya, dia satu-satunya manusia yang agak ‘jelas’ di antara kami karena walaupun kuliahnya amburadul, dia memiliki coffee shop yang sedang naik daun di daerah tongkronger Dago.
Bagaimanapun, aku pasti mencari mereka jika sedang kurang kerjaan. Jika sedang butuh muka-muka gila mereka untuk sekadar tertawa, mengobrol basi, dan hal-hal tidak berkualitas lainnya. Aku terpaksa berteman dengan mereka, karena mereka adalah satu angkatanku yang masih tersisa di kampus.
“Sha, kemarin lo motret di gedung merah ya?”
“Siapa bilang?”
“Yayang lo, kemarin papasan ama gue di Dago Pakar. Lo foto-foto kok enggak ngajakin gue sih?”
“Apaan sih lo, orang gue lagi motret buat lomba foto satwa. Lo mau jadi modelnya?”
“Udah, terima aja. Lo kan lagi sepi job,” sahut Blackie.
“Sialan lo!”
“Eh, ntar-ntar, lo ketemu cowok gue di mana?”
“Di cafe yang kita ngerayain ultahnya si Demit kapan hari. Gue ke sono sama Saskha dan Bagito. Ya, guys?”
“Di mana? Dago Pakar? Ngapain? Sama siapa?” tanyaku berentetan. Benakku segera membayangkan hal yang macam-macam.
“Gila lo. Parah banget. Kemarin kan lo janjian makan malam sama dia di sana, tapi lo malah motret.”
“Lo pikun atau gimana sih? Gue kagak ngarti. Cowok cakep-cakep kayak gitu lo sia-siain.”
“Iya, Sha, kasian banget. Lo tahu enggak, dia nungguin lo sampe cafe tutup.”
“Tapi...tapi dia cuma sms nanyain gue di mana. Gue bilang, gue lagi ambil foto di gedung merah. Habis itu, dia enggak sms lagi...gue bener-bener lupa.”
Louisa mengibaskan tangannya ke udara. “Ya, dan dia sudah ngebuktiin kalau lo bener-bener udah ngelupain dia.”


Where Will We Go?
Aku mencoba menghubungi nomornya tapi tak diangkat. Aku mencoba sekali lagi, dan pada nada ‘tut’ yang ketiga, aku hanya memperoleh jawaban sibuk dari operator yang berarti panggilanku ditolak.
Baiklah. Aku tidak tahu ini sudah yang keberapa kali. Aku melupakan patung kayu pesanannya ketika aku pergi ke Swiss, aku melupakan jadwal keberangkatannya ke Semarang sehingga aku tak sempat sekadar bilang “Take care”, “Cepat pulang”, atau “I’m gonna miss you” sampai dia balik ke Bandung lagi, aku lupa kalau dia tidak suka udang dan malah membawakannya udang tepung ketika dia sakit, bahkan aku baru saja melupakan ulang tahunnya tapi aku pura-pura lupa sekalian dan merayakan malam harinya dengan bantuan Saskha dan kawan-kawan. Dan mungkin ini yang tak termaafkan. Karena malam itu adalah hari ulang tahun jadian kami yang kami rayakan setiap tahun.
Tapi aku selalu berusaha memperbaikinya. Bagaimana tidak, kami telah merajutnya sejak semester pertama di bangku kuliah. Sehingga begitu tak sampai hati melepaskan semua yang telah kami rangkum selama itu.
Kami satu kelompok ospek ketika kami sama-sama masih kuliah di Semarang. Aku masih bisa mengingat bibirnya yang berkerut membiru dengan badan yang menggigil di bawah hujan ketika menunggu aku bangun tidur di depan pintu pagar. Di malam Desember, pukul tiga dini hari, tepat ketika bunga-bunga bakung di depan rumah bermekaran. Dan itulah yang sebenarnya kunanti, aku juga telah menunggu lama. Ya, dalam waktu yang lama, dia tidak kunjung mengungkapkannya, tapi ternyata dia sedang sibuk memilih hari. Menunggu turunnya hujan. Agar lebih dramatis, katanya.
Kami selalu bersama. Ada kamu, ada aku. Dan sebaliknya. Sampai-sampai kami menerima sebuah predikat sebagai pasangan paling serasi di seantero almamater. Kami pun terus bergandengan, semakin tak terpisahkan. Hingga ketika keluargaku harus tinggal di Bandung dan aku harus berpindah studi di kota lautan api itu. Kami tak putus asa, kami pun mendaftar lagi di kampus yang sama walaupun berbeda fakultas. Namun semakin lama, kami justru semakin kehilangan arah. Dia seolah berjalan ke barat, aku berjalan ke timur. Seakan kami tidak pernah bisa bertemu lagi.
Aku mengakui, sedikit merasakan perjalanan alur yang monoton dan mudah ditebak, hubungan kami terlalu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diperjuangkan. Bahkan kadang aku sengaja mengundang keributan agar kami tampak seperti Romeo dan Juliet. Selebihnya, aku tak mengerti. Aku malas untuk memikirkannya. Tapi satu hal yang masih berpendar jelas, aku tidak pernah ingin ditinggalkannya.
Aku memasuki pekarangan fakultasnya. Membaca nama fakultasnya dengan gelisah. Lalu menyeberangi anak-anak yang ribut di lorong kantin. Mengabaikan siulan-siulan mereka dan berjalan lurus di sepanjang koridor hingga di depan sebuah ruangan aku bisa melihat dari belakang, seseorang berdiri bercakap-cakap dengan seseorang yang lainnya. Aku memastikan bahwa seseorang yang memakai jaket hitam di atas t-shirt putih itu adalah dia.
Dia berbalik.
Dan, oh, astaga. Aku salah.
“Hai, Shalu!” seru orang yang baru saja kutebak.
“Hai...Kak Umay...” balasku dengan suara tersendat, sedangkan mataku melirik ke arah seseorang di sebelah orang yang kupanggil Kak Umay itu.
“Eh, Sha. Aku denger Eiffel udah sampai di Bandung, ya?”
“Iya, Kak. Maen dong, jenguk Eiffel,” kataku, sedikit mengeraskan suaraku pada kata ‘Eiffel’ agar orang di samping Kak Umay mendengarnya. Agar dia bisa mengambilnya sebagai alasanku melupakan malam itu.
“Oh, ya, pasti. Aku tak sabar melihat kalian menimang anak-anak selucu Eiffel. Sudah siap? Ha, ha,” ujar Kak Umay  sambil menepuk bahu orang di sampingnya.
Aku tersenyum dengan satu sudut bibir. “Oh, ya, Kak Umay barusan ada acara apa?”
“Ini, fakultasnya suamimu ada seminar technopreneur.”
Aku malu sekali mendengar Kak Umay menyebut orang di sampingnya dengan sebutan ‘suami’.
“Kak Umay jadi bintang tamu?” tanyaku, berusaha mengalihkan topik tentang aku dan orang di sampingnya.
“Oh, enggak. Ngisi aja. Ayo, mangga, silakan. Aku duluan. Ntar aku hubungin kalian kalau mau lihat Eiffel. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab kami berbarengan. Merasa aneh mendengar suara kami berpadu.
Ya, orang yang mengenakan jaket hitam barusan adalah Umair Addreby. Adik sepupu Rajendra dan teman baik almarhum Naftali. Sedangkan seseorang yang sekarang berdiri di sampingku, dialah tujuanku ke sini. Dia, orang yang mengenakan kemeja berwarna biru  dengan lengan yang digulung berpadu celana washed jeans. Dan aku memutuskan jika dia sangat tampan seperti itu. Auddry Enrizky. Itu dia.
Kami berdiri lama hingga garuk-garuk, tapi dia tidak juga menanyaiku.
“Kenapa malam itu kamu enggak bilang kalau kamu lagi nunggu di sana? Kamu kan tahu, aku pikunan...” ujarku di antara sayup-sayup suara ribut dari arah kantin.
Dia hanya mematung tanpa merubah posisi berdirinya. Beberapa saat kemudian, jemarinya memenceti ponsel di genggamannya lalu memasukkannya ke dalam saku. “Aku masih bisa terima saat kamu ngelupain ‘aku’, tapi aku enggak bisa terima kalau kamu sampai ngelupain ‘kita’.”
Aku melempar pandanganku membentur tembok. Kemudian menoleh, melihat wajahnya dari samping dengan cemas. “Enggak bisa terima? Tapi masih bisa maafin kan?”
Dia berdiri di depanku lalu menatapku. “Aku bener-bener pengin marah sama kamu!” serunya membentak lalu memalingkan mukanya sambil mendesah. “Damn! Tapi aku selalu enggak bisa!”
  Aku menautkan jari-jariku hingga membentuk daun waru dan meletakkannya di dadanya, agak sebelah kanan atas, kira-kira di jantungnya. “Love for you. Makasih, Sayang...”
Damn!” serunya lagi.

***

Honey, kau ingin aku membawamu ke mana?” tanyanya.
Itu pertanyaan yang sederhana. Secara harfiah sangat sederhana. Jawabannya, aku hanya ingin duduk di sampingnya. Di dalam mobil yang sedang bergerak. Berdua. Membuka jendelaku, lalu melongokkan kepalaku untuk memandangi indahnya pendar lampu-lampu di pinggir jalan. Terserah kemana. Yang jelas, aku tidak ingin mobil ini berhenti, mogok atau sekadar berhenti di suatu tempat. Aku hanya ingin berjalan.
Kau ingin aku membawamu ke mana. Akan sangat rumit jika aku mengartikannya lebih dalam. Kami sudah berjalan jauh. Seharusnya kami berhenti, mengakhiri perjalanan jauh dengan duduk bersama di sebuah tempat yang lebih indah. Menggenggam secangkir teh hangat sambil mengawasi anak-anak kami bermain riang di muka rumah. Bukankah seharusnya itu yang kunantikan? Setiap  perempuan di dunia ini? Bukankah seharusnya dia adalah salah satu sebaik-baik pria karena berani menawarkan hal itu? Tapi kenapa aku hanya ingin berjalan saja. Mau kemana? Aku tak tahu.
My Love, jika kita berjalan saja seperti ini terus, kita bisa kehabisan bensin...” katanya, dan kalimat itu terdengar penuh arti di telingaku.
“Kau tahu, kita bisa mogok, atau tersesat di jalan...” sambungnya, seperti menyambung pikiranku.
Aku menggigit ujung ibu jariku, lalu menoleh ke arahnya. “Oke. Kita berhenti untuk istirahat...”
“Maksud kamu kita break?” tanyanya, memberi penekanan pada kata ‘break’ yang menohok.
“Auddry!” seruku. Aku merasa dia sudah berlebihan.
Dia memejamkankan mata sesaat untuk selanjutnya menghela nafas. “Ya, kita berhenti di baby shop itu. Kita cari sesuatu yang lucu untuk Eiffel...”
Kami berjalan mengelilingi rak baju bayi. Sedikit gugup melihat tatapan orang-orang di sekitar kami. Mungkin mereka merasa aneh melihat pasangan dengan dandanan yang masih imut sedang berkeliaran di butik perlengkapan bayi. Merasa janggal melihat ibu muda mengenakan skinny jeans dan sepatu ankle boots bersama seorang ayah muda dengan dandanan yang tak kalah imut.
Kami berdua saling pandang.
“Mereka ngelihatin kita?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu.
Dia merangkum jemariku kemudian menariknya. Menggandengku sehingga aku tetap berjalan di belakangnya.
“Hey, sumpah lucu banget!” serunya sambil menunjuk coat ukuran mungil di etalase khusus.
Aku tertawa.
“Kamu bisa bayangin enggak, kalau itu dipakai Eiffel?” tanyanya.
“Ha, ha. Hermione Granger,” kataku.
“Tapi ukurannya pas?” tanyanya sambil membolak-balik boneka manekin.
Aku menengok kertas label di dalam baju. Untuk usia 4-5 tahun. Besar Eiffel yang di atas rata-rata usianya, biasa memakai ukuran itu. Tapi aku tak sengaja melihat harganya di sana. Oh my gosh!
“Enggak,” kataku.
“Enggak?” tanyanya.
“Enggak.” Tutupku. Titik. Ayah Eiffel mungkin bisa mentransfer harga baju tujuh kali lipat lebih mahal dari itu. Tapi siapa yang ingin membelikan baju itu? Auddry tentu bukan dari kalangan tidak mampu, tapi aku harus berpikir seribu kali ketika berbelanja dengan seorang cowok yang sudah memutuskan untuk mandiri dari kedua orang tuanya. Tidak peduli dia anak pejabat atau pemilik saham operator seluler sekalipun.
“Sudah? Kamu enggak pengin cariin Eiffel sesuatu yang lain, apaan gitu? Perlengkapan musim hujan, mungkin?” tanyanya, mengetuk lamunanku.
Aku terkejut melihat seorang pramuniaga sudah mempreteli baju mungil itu dari tempatnya.
Aku menganga sambil mendongak panik ke arah wajahnya.
Dia menepuk-nepuk kepalaku.
“Tapi Sayang...ah, tapi...Sayang, aku enggak maksud, ah, maksudku...aku enggak mau kamu seboros itu,” bisikku ke telinganya. Sementara aku melihat pramuniaga melirik ke arah kami.
“Tidak ada yang boros jika itu yang membuat aku bahagia. Kamu mau aku bahagia kan?” bisiknya balik.
 Aku menggigit bibirku.
“Sayang, denger. Kemarin aku habis manggung dan baru saja dapat kontrak job dari label yang aku ceritakan itu. Inget? So?” dia membentangkan kedua telapak tangannya. “Enggak salah kan, aku menikmati jerih payahku sendiri? Lagian aku bukan membeli barang yang enggak berguna. Eiffel bisa memakainya kemanapun, dia tinggal di negara dingin dan selalu ikut ayahnya datang ke acara-acara penting. Aku berharap dia selalu memakainya.”
Menikmati. Aku terfokus dengan kata itu. Dia menyebut membahagiakan orang lain sebagai menikmati. Aku ingin mengucapkan ‘I love you’ kemudian membelai wajahnya, tapi pramuniaga itu semakin khusyuk memperhatikan kami.


Uyik And Auyi
Ketika kami sampai di depan pintu, Eiffel berlari menerjang ke arahku. Namun ketika dia melihat orang di sampingku, dia melepaskan rangkulanku dan berjalan menjauh lalu berdiri di belakang Mama sambil mengintip.
“Dia justru malu sama orang yang sudah dia kenal tapi lama enggak ketemu...” kataku kepada Auddry.
Auddry menghampiri Eiffel yang bergayut di tangan Mama.
“Hai, Eiffel...kamu sudah besar ya?” tanya Auddry sambil menggerak-gerakkan boneka jerapah di depan Eiffel.
“Itu lho, ditanya sama Om Auddry. Dikasih apa tuh sama om Auddry? Bilang apa?” ujar Mama.
Thank you...” sahut Eiffel sementara tangannya mengambil boneka yang dipegang Auddry lalu berlari, bersembunyi di balik badanku.
“Hey, Ef, masih inget enggak sama Auyi? Remember? Auyi, yang pernah main kuda lumping sama Ef dulu. Kuda lumping, kuda lumping, herrrr!” kataku.
Auyi adalah nama panggilan Auddry ketika lidah Eiffel belum bisa mengucapkan huruf ‘r’ apalagi huruf ‘r’ di tengah. Dan ketika dia mendengar orang-orang memanggil Auddry, dia ikut-ikutan memanggil Auddry dengan panggilan ‘Auyi’. Tapi Auddry menyukai panggilan itu. Karena menurutnya, Auyi berarti “Aa’nya Uyik Una” atau “Ayangnya Uyik Una”.
“Nah. Lorenggo dan Kanggo punya teman baru. Eiffel mau kasih dia nama apa?” Aku mengangguk-anggukkan kepala boneka jerapah sambil membuat suara yang aku rasa terdengar seperti suara Woodpecker. “What’s my name, My Little Princess?
What’s your name?” tanyanya sambil mengetuk-ngetuk kepala jerapah.
“Jeroo...?” aku meneleng ke arahnya, menanyai pendapatnya.
Matanya melihat ke arah bibirku lalu berkata menirukan, “Jeroo...”
Yea, this. You name it!” seruku.
“Ayo Nak Auddry, masuk dulu,” kata Mama sambil membimbing Auddry ke ruang keluarga.
“Auyiiiiiii!” tiba-tiba Eiffel berteriak.
Ketika Auddry memutar kepalanya, Eiffel kembali bersembunyi di belakangku.
“Lun, dibikinin yang anget-anget dong...” ujar Mama kepadaku.
Aku mengangkat kakiku untuk berjalan tapi tangan Eiffel bergelayut di kedua kakiku. Sehingga, sementara aku berjalan, Eiffel menempel di kakiku seperti monyet memeluk dahan pohon. Dia seperti itu hingga kami sampai di dapur.
“Kenapa malu sama Om Auyi? Om Auyi ganteng ya?” tanyaku dengan suara berbisik.
Wi...wi...wi...Hellooo? Yaaa? How’re you? I’m goood...” Eiffel berbicara sendiri di lantai, tangannya sibuk memenceti boneka barunya. “Hi, Auyiii...”
Do you.......what?” Aku rasa Eiffel tidak sedang berbicara sendiri lagi. Aku menoleh ke belakang.
Hi, honey!” seruku.
“Kau bisa memasak?” tanya Auddry dibarengi dengan gelak tawa.
Oh, Lord, please stop him!” seruku lalu ikut tergelak.
I’ll help you...” ujarnya.
“Ah, sudah, sana, pergilah...Ow, kau mau aku menambah kopinya lagi?”
“Oh, ya, sedikit lagi...”
“Begini?”
“Oh, ya, sudah, sudah. Cukup, cukup. Kau bikin apalagi?” tanyanya sambil membuka tutup panci berisi rebusan air, jahe, serai dan daun pandan.
“Bikin wedang,” jawabku.
“Wow, aku enggak tahu perkembanganmu sepesat ini, Honey...” ujarnya.
Oh, stop it...ajak Eiffel keluar melihat bintang. Kau gendong dia. Dia suka digendong dan bakal lengket terus sama orang yang gendong dia,” kataku.
Tidak ada suara. Aku menoleh. Auddry menatapku sambil mengernyitkan dahi.
“Aku takut ntar dia kenapa-napa. Aku enggak bisa gendong...” katanya.
Okay,” aku menghampiri Eiffel lalu mengangkat tubuhnya. “Bunnie, do you wanna watch the stars? You can go with Auyi. He’s so excited! Come on...
“Sayang, beneran, aku enggak pernah pegang anak kecil...” kilahnya.
Aku menaruh tubuh Eiffel di atas lengannya. “Ayolah, lenganmu seksi. Kamu tahu, cowok itu keren banget kalau lagi gendong anak kecil?”
Oh my God, oh...berat banget...” keluhnya.
“Beratan mana sama karung beras? Pilih gendong anak kan daripada disuruh jadi manol? Biar bisa ngerasain gimana rasanya jadi cewek,” ujarku.
 “Here...like this!” perintah Eiffel sambil menggerakkan tangan Auddry, bermaksud mengajari.
Ya, all right,” katanya lagi lalu melingkarkan tangan mungilnya di leher Auddry.
Oh my God!” seru Auddry. “Here we go, baby. We’re gonna reach the stars, okay?
This way. This way, Auyi!” Eiffel menunjukkan jalan ke halaman belakang, ke arah kolam renang. Dan di sana memang terlihat banyak bintang karena tempat itu adalah halaman yang paling lapang.
Aku menuangkan santan cair dari kulkas lalu memasukkan potongan pisang ke dalam rebusan. Tidak berapa lama, rebusan mendidih sambil mengeluarkan kepulan. Aku mengambil potongan roti tawar yang kupanggang dalam oven. Membaginya ke dalam tiga mangkuk lalu menyiram ketiganya dengan rebusan berisi potongan pisang, menghiasnya dengan irisan daun pandan dan strawberry, dan aku tidak pernah merasa seseksi Farah Quinn seperti ini.
Ya, dulu aku tomboy, tidak pernah menginjak dapur, tersandung ketika memakai rok, dan terjerembab ketika memakai sepatu sol tinggi. Walaupun kadang aku masih begitu, tapi sekarang tidak ada yang menyangka bahwa dulu aku tomboy.
Sejak kecil, aku tinggal bersama kakek dan nenekku di Semarang. Sedangkan ayah dan ibuku beserta Brian, kakakku tinggal di Jerman. Aku dikirim ke Semarang karena aku anak yang hiperaktif dan pernah menubruk perut ibuku yang sedang hamil hingga mengalami keguguran. Mungkin, jika sempat besar, calon adikku itu sudah duduk di bangku SMA.
Ketika ayahku memutuskan membangun pabrik minyak atsiri di Indonesia, mereka semua pindah ke Jakarta. Sementara mereka tinggal di Jakarta, aku masih tinggal bersama nenek dan kakekku di Semarang karena aku merasa nenek dan kakekku sudah seperti kedua orang tuaku. Namun menginjak semester ke-3, aku memutuskan ikut tinggal bersama Papa, Mama, dan Brian kakakku. Bukan di Jakarta lagi, tapi di Bandung. Karena Papa mendirikan kantor pusat di Bandung dan memperluas kebun nilam dan beberapa bunga bahan baku minyak di Lembang.
Rumah kami di Bandung ini, sekarang hanya ditinggali aku, Mama, dan Papa. Jika Papa sedang berada di kantor, aku dan Mama seperti dua orang asing yang tiba-tiba harus hidup bersama. Kami berdua tidak pernah bertengkar, hanya saja merasa seperti sulit terhubung satu sama lain. Mungkin karena aku lebih lama tinggal bersama nenek dan kakekku. Tapi entah kenapa, aku bisa lumayan akrab dengan Papa dan bisa langsung dekat dengan Brian, kakakku. Mungkin karena Papa adalah tipe orang yang spontan, mempunyai banyak lelucon, dan mudah akrab dengan siapa saja, bahkan dengan satpam dan tukang kebun kami. Sedangkan dengan Brian, usiaku hanya berbeda dua tahun sehingga kami mempunyai selera apapun yang masih sejaman. Kami sering berjalan bertiga. Aku, dia dan Auddry. Kami pergi ke cafe, naik gunung, bermain bola di pantai, berburu pemandangan di jalanan untuk difoto, memanggang daging barbekyu di halaman belakang, menonton film, makan nasi goreng di pinggir jalan, bahkan kami bertiga menyusun puisi untuk Naftali ketika dia mendekati almarhum kakak iparku itu. Kehilangan itu benar-benar terasa ketika dia mendadak pergi untuk selamanya.
Aku jarang sekali berbicara dengan Mama. Tapi ketika orang lain datang ke rumah kami, kami seolah-olah berpura-pura menjadi pasangan ibu dan anak yang hangat. Namun yang terjadi, ketika aku di rumah, Mama hanya berkutat di kebun Chrysant dan Berry-nya dan sesekali masuk ke dalam rumah hanya untuk bertanya apakah aku sudah makan atau sekadar menengok melewati kamarku.
Kadang aku begitu iri melihat teman-temanku yang sangat dekat dengan ibunya, bahkan menganggap ibunya sebagai tempat curhat bahkan layaknya sahabat, hingga bisa pergi ke mall atau salon bersama.
Aku yakin ibuku adalah orang yang baik. Dan tidak diragukan lagi, dia sayang padaku. Dia menangis ketakutan di telepon ketika mobilku dikabarkan menyerempet sebuah angkutan. Hanya saja hubungan kami terlanjur kikuk. Terbata-bata dan gaguk. Hingga kami kehilangan cara untuk mengungkapkan kasih sayang masing-masing. Bahkan aku begitu bingung ketika tiba hari ulang tahun ibuku sendiri. Selama ini, aku belum pernah mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah khusus kepadanya sendirian. Aku selalu menelepon Auddry atau Saskha dan kawan-kawan untuk datang menemaniku. 
Mungkin karena itulah, Mama menganggap Rajendra seperti pengganti Brian. Rajendra lebih dekat dengan Mama daripada aku. Auddry juga dekat dengan Mama, tapi tidak sedekat dengan Rajendra. Tapi aku yakin, setelah Auddry dan aku nanti menikah, Auddry lah yang akan mengganti sosok Brian dan aku akan lebih dekat dengan Mama. Aku pikir Rajendra bisa sedekat itu dengan Mama karena Eiffel. Dia pun pernah beberapa kali menginap di rumah kami sehingga mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk mengobrol.
Sebelum Eiffel tinggal di rumah kami, aku selalu menghabiskan waktu di luar dengan kameraku. Aku memotret alam, bangunan tua, jalanan di sore hari dan beberapa kali dibayar untuk memotret model iklan pamflet dan majalah komunitas. Aku tahu bayarannya tak seberapa, tapi aku menyukai apa yang aku kerjakan dan aku merasa butuh untuk melakukannya.

***

“Mana Auyi, Uyik Una? Mana?” tanya Eiffel ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melongok dari balik daun pintu kamarku sambil memeluk Jeroo, Lorenggo dan Kanggo hingga mukanya terlihat menyempil di balik boneka-boneka itu.
Aku menggulung selimutku yang kusut di atas kasur yang berantakan lalu mengangkat tubuh Eiffel ke atasnya. “Pulang ke rumahnya. Eiffel sih, kemarin rewel minta telepon daddy. Jadinya, Auyi pulang karena dicuekin Eiffel...”
I’m so sorry...” katanya cemas dengan suara rendah yang parau, wajahnya tampak begitu sedih.
Aku segera memeluknya dan begitu menyesal telah mengatakan kalimat menyalahkan barusan. “Hunnie Bunnie...Auyi sayang sama Eiffel. Tapi Auyi harus pulang ke rumahnya karena dipanggil sama mommy-nya.”
Will he come here again?
Yes, he will...”
When?
Tomorrow, maybe...”
So, next day?
Ya, may be. Are you missing him?
Yeeesss. Uyi Una, are Lorenggo and Kanggo older than me?” tanyanya sambil meletakkan Jeroo di atas pangkuanku lalu mengangkat Lorenggo dan Kanggo setinggi mukaku.
Ya. Why would you ask that?
Well, daddy got them at the hospital on the day I was born. Right?
Yea....yeah,” aku terbata, mengagumi pemikiran bayi tiga tahun di sampingku yang telah mahir merangkai lebih dari lima kata. “You were still in mommy’s tummy when daddy bought them for you...
Okay. Now, sing!” jemari mungilnya menepuk bahuku. “Sing, Uyik Una, I want cha to sing a song for me...”
“Sing what? Ah, ya. One and one I love my daddy, two and two I love my granny, three and three I love my auntie, one two three I love everybody....” aku menyanyikan lagu ‘Satu-satu Aku Sayang Ibu’ dengan mengganti beberapa kata dan membuat sedikit gerakan jari-jari tangan.
“Hey! Where is mummy?” protesnya.
Mendengar pertanyaannya, jantungku seakan meloncat dari tempatnya. Aku tak percaya pertanyaan itu dicerna dari otak yang mungkin ukurannya masih sekepal tanganku.
Mummy? Umm...oh, Ef, I dont know what...ah, please...listen to me...” aku bingung mengatakannya. “Eiffel punya daddy, granny and auntie. So...Eiffel bisa panggil ‘Mummy’ ke granny or Uyik Una...”
No, daddy told me that ma mummy is an angel, named Anjali. She lives overthere,” katanya sambil menengadah menatap langit. “Daddy said, If I can be a good girl, I can meet her...”
Oh, yeah, you will. Good girl!” seruku, mengusap kepalanya. Begitu mengagumi isi kepalanya.


The Strangers
Do you know who got you the dress?” tanyaku, menautkan kancing coat mungilnya.
No, you?
No, not me. Auyi got the dress for you. Do you like it?
Yes, I do,” dia memainkan rambut di dahiku. I love Auyi.”
And he loves you so much. Now, come on. Up, up, all right,” aku mendorongnya, membantunya naik ke atas mobil lalu memasang sabuk khusus bayi. Tapi tangannya terus bergerak menekan tombol klik sehingga sabuk itu berkali-kali terlepas.
Eiffel, do you still wanna go with me?” tanyaku sedikit kesal.
Dia segera melipat tangannya.
Yeah, you better do that. Watch your head, watch your head!” seruku sambil menutup pintu mobil.
“Luna, jangan mampir-mampir. Cepet pulang lho ya,” pesan Mama dengan wajah khawatir.
Everything’s gonna be all right, Mom...don’t worry, okay,” kataku. “Bye, assalamualaikum.”
Ketika aku membuka pintu jokku, aku melihat Eiffel melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya lalu melompat ke jok depan.
Hey!” seruku.
I wanna have a seat beside you,” sahutnya.
Okay. Have a seat. And don’t forget, we...don’t...open...the windows. We don’t open the  windows. You know why?” ujarku. Aku merasa harus mengingatkan hal itu karena aku khawatir bayi itu memencet tombol jendela sehingga kacanya turun dan melongokkan kepala atau mengeluarkan tangan dari sana.
Dia melihat bibirku sambil berkomat-kamit menggerakkan bibirnya.
“Jika kita membuka jendela, kita bisa jatuh. Awww! Sakit! Ef pernah jatuh?”
“Yeeesss. Twice.”
“Sakit?”
“Ya. Di sini, Uyik. Di sini.” katanya, menunjukkan beberapa bagian tangan bekas luka dengan antusias. “Sakit!”
Okay. So? We don’t open...”
We don’t open the windows.”
“Good girl!”

***

Sore itu kami pergi ke supermarket untuk membeli shampoo, sabun bayi, minyak telon dan beberapa keperluan Eiffel lainnya yang telah aku catat di secarik kertas. Sepulang dari supermarket, tentu aku tidak begitu saja menepati janjiku kepada Mama untuk segera pulang. Aku memutuskan berbelok ke kampus ITB, memarkir mobilku di dekat Masjid Salman, lalu menggandeng Eiffel berjalan-jalan di taman depan masjid dan kebun binatang.
Aku menyukai suasana di kampus itu. Banyak hal-hal tua di sana. Bangunan tua, pohon-pohon tua, dan burung-burung tua liar yang masuk daftar satwa lindung.
Aku duduk di pinggir kolam taman depan masjid,  memandangi burung-burung yang buyar beterbangan dari rimbunan pohon, anak-anak kecil yang naik di atas punggung kuda, lalu-lalang beberapa mahasiswa berkacamata, dan membiarkan Eiffel berlarian di sekitarku. Sesekali aku mengarahkan lensa kameraku ke arahnya. Bayi itu begitu photogenic diambil dari sudut manapun. Gambarnya selalu tampak seperti foto hasil editan. Tapi aku kira kemampuan memotretku juga lumayan bagus. Aku tidak membicarakan bagus menurut ilmu fotografi atau mengartikan bagus dengan istilah-istilah yang rumit, karena aku tidak pernah mengambil sekolah formal untuk fotografi, aku mempelajarinya dengan perkiraanku sendiri, karena aku memang lebih suka mempelajari apapun sendiri. Aku kadang justru bingung mempraktekkan sesuatu dari panduan orang lain atau buku. Jadi definisi bagus untuk fotografi menurutku, model yang menyatu dengan latar, komposisi warna yang unik, gerakan yang dramatis, ekspresi yang natural, tampak tak sengaja, tak dibuat-buat, lentur dan penuh arti.
Please, let me pass...” keluh Eiffel ketika tiba-tiba seseorang berdiri membelakangi di depannya, menghalangi jalannya untuk berlari-lari.
Seorang perempuan yang sedang mengenakan jeans pudar robek dengan rambut blonde bergelombang itu memutar badannya.
Ohh.....! Hellooo...hello! Hi, sweetheart! What’s your name?” teriak perempuan bule itu dengan heboh ketika melihat Eiffel. Eiffel pun terkaget lalu berlari memelukku.
How pretty lil’ girl. Your baby girl?” tanyanya.
Y...ya,” jawabku iseng.
Lucky you having beautiful baby like her. Oh, mind if I take a picture?” dia mengeluarkan kamera sakunya.
I think, she doesn’t mind. You don’t mind, Bunnie?” tanyaku ke arah Eiffel.
Eiffel diam, matanya tak berhenti mengamati perempuan berkulit pucat itu dengan wajah ketakutan.
Aku memeluknya di bawah lenganku. “Don’t worry. She is very kind. She wants to make a new friend with you.
Bye-bye...bye-bye...” ujarnya, melambaikan tangan sambil menggeleng-geleng. Eiffel biasa melakukan hal itu jika melihat sesuatu yang menakutkannya.
No problem. I have taken the picture. Thank you,” kata si gadis bule.
“Uyik Una, come on. Come on, Uyik,” Eiffel menarik-narik lengan jaketku.
“Haha, okay. Okay, honey. She is really scared with me. I have to go. Bye! Bye, baby!” seru perempuan bule yang tak sempat kuketahui namanya itu sambil berlari dan melambai. Aku membayangkan namanya adalah Chloe atau Mary, seperti nama beberapa teman dari negara asing yang belajar di Ilmu Budaya. Mereka berkulit putih pucat, mempunyai beberapa bintik merah di wajah, berbadan kaku serta tidak begitu cantik untuk ukuran orang-orang barat. Eiffel mungkin ketakutan karena melihat orang yang terlalu putih seperti kain pocong. Atau mungkin anak kecil biasa mempunyai firasat tentang sesuatu yang buruk. Atau entah lah.
Bunnie...you’ll be fine,” aku menepuk-nepuk punggungnya.
Come on, let’s go, come home,” Eiffel menarik tanganku sekuat-kuatnya hingga badannya miring dan kepalanya nyaris menyentuh tanah.
Aku masih ingin mengajaknya ke kebun binatang. “Do you wanna see Jeroo’s friend, Kanggo’s....”
Nope! I wanna go home!” serunya.
Okay. We’re gonna go home,” kataku akhirnya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir mobil kami, Eiffel mencengkeram genggaman tanganku, wajahnya tampak gelisah dan khawatir seperti dikuntit sesuatu.
Close the window! We don’t open the windows!” serunya ketika aku menurunkan kaca jendela untuk memberikan uang kepada tukang parkir.

***

Pagi yang hangat. Bandung tetap dingin, hanya badanku telah menghasilkan energi panas dari gerak lari-lari kecil mengelilingi tiga blok perumahan. Eiffel tampak belum puas dan terus menarik-narik tanganku, membujukku untuk mengulangi satu putaran lagi.
Ef, please get me a bottle of water,” suruhku, berharap agar setelah berlari-lari mengambilkan minuman, dia melupakan keinginannya.
Ow, ya!” serunya lalu berlari dengan antusias ke dalam rumah.
Aku berdiri bersandar di depan kap mobil Papa yang terparkir di depan garasi  sambil mendengarkan ‘What’s My Name’ versi duetnya Rihanna dengan Erick Right dari IPod. Aku mengangguk-angguk setiap lagu sampai pada lirik “Oh, na na what’s my name? Oh, na na what’s my name?” dan bernyanyi lebih keras di bagian “Hey boy I really wanna see if you can go downtown with a girl like me. Hey boy I really wanna be with you cause you just my type oh uh na na na...”   
Aku berhenti bernyanyi untuk mengelap wajahku dengan handuk dan bernyanyi lagi di bagian yang menurutku membuat suaraku serak dan seksi:
So I surrender to every word you whisper
Every door you enter, I will let you in
Dan aku benar-benar seperti mendengar seseorang sedang berbisik. Aku menoleh, tiba-tiba aku melihat wajah tersenyum menyembul di depanku.
Aku melepaskan earphone-ku. “Ya?”
“Oh, maaf. Aku liat anak kecil, cewek, cantik, lucu banget. Putrinya?” tanya gadis itu.
Dia mengenakan tank top berlapis jaket kaos dan celana tukang sate berwarna putih dengan sepatu kets. Aku rasa dia juga baru pulang jogging. Itu artinya dia bertempat tinggal di sekitar rumahku.
“Oh, ya, oh, maksudku, ya, dia tinggal di sini. Bukan putriku, tapi keponakanku,” aku berkata sambil bertanya di dalam hati apakah wajahku begitu keibuan sehingga aku pantas menerima anggapan itu.
“Ah, ya, Sere,” dia menjabat tanganku.
“Luna,” kataku. Aku pikir, keluargaku sering memanggilku Luna dan dengan begitu aku tidak perlu menjelaskan hal-hal yang membuang waktu jika beberapa saat lagi dia mendengar Eiffel memanggilku Uyik Una.
“Uyik Una! Ini, Uyik Una! Ini!” teriak Eiffel, tergopoh-gopoh sambil menyodorkan sebotol air dengan kedua tangannya ke arahku.
Heeeyyyy!” pekik gadis itu setelah melihat Eiffel.
Eiffel benar-benar mempunyai banyak penggemar. Pikirku.
Bunnie, say something nice untuk Tante Sere...” kataku.
Hi, Serenina, whazzzzup? Good to see ya,” ujar Eiffel dengan bahasa slang-nya.
Awalnya aku berpikir bahwa kata terusan ‘nina’ merupakan bagian dari bahasa slang Eiffel. Tapi setelah melihat senyum Eiffel yang mengembang akrab ke arah orang yang dipanggilnya Serenina, aku menjadi curiga akan sesuatu.
Hi, fine, honey. How’s your daddy?” tanya Serenina.
I haven’t called him yet today,” jawab Eiffel.
Aku mengusap rambut Eiffel dengan ribuan pertanyaan di kepala.
“Adikku pernah menjadi sahabat dekat ayahnya. Dan kami bertetangga di New York. Kau masih bingung?” tanyanya sambil tertawa.
“Oh, astaga. Jadi begitu. Ya, ya...oh ya, kita juga bertetangga?” tanyaku.
“Untuk beberapa hari ini iya. Aku cuma liburan di sini, nginep di rumah temen. Aku asli Surabaya.”
“Surabaya? Aku punya Bude di Surabaya,” kataku.
“Oh ya?”
 Semakin lama kami mengobrol, semakin kami menemukan banyak kebetulan. Hingga akhirnya aku mengajaknya masuk ke dalam rumah. Kami bercerita tentang kegiatan Eiffel sehari-hari ketika di New York. Aku baru tahu bahwa Eiffel bisa naik sepeda kecil dengan roda tambahan.
Kami juga membicarakan rumah kakak perempuan ibuku di Surabaya yang letaknya hanya lima kilometer dari rumah Serenina. Lalu dia bercerita tentang asal-usul persahabatan Rajendra dengan adiknya yang bernama Karenina yang sedang melanjutkan kuliah S3-nya di Jepang. Dia bercerita tentang rencana liburannya di Surabaya dan aku bertanya dengan rasa ingin tahu yang besar tentang asal-usul nama makanan ‘tempe penyet’, apa itu hewan ‘suro’, mengapa aku harus mengunjungi Jembatan Suramadu yang dia rasa bisa menjadi objek pemotretanku, bangunan-bangunan tua di sana sehingga Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan, taman-taman di Surabaya yang menjadikan kota panas itu sebagai Kota Ramah Lingkungan se-ASEAN, cerita lucu tentang bahasa Suroboyoan. Dan beberapa menit kemudian, aku begitu terpengaruh untuk mengunjungi kota itu. Aku bertanya lagi tentang bagaimana dia bisa mendapatkan kemampuan promosi wisata yang bagus seperti itu, dengan sedikit berlinang air mata, dia menjawab, “Adikku. Dia pernah menjadi duta wisata dan giat mempromosikan wisata Indonesia di luar negeri. Kami adalah sepasang saudari yang saling menyayangi. Tapi, bertahun-tahun kami belum bisa bertemu, karena dia begitu konsen dengan kuliah dan pekerjaannya di sana.” Selanjutnya cerita menyebar tentang ibunya yang pernah menjadi partner bisnis almarhum kakak iparku, Naftali. Tentang ayahnya yang begitu menggilai pekerjaannya hingga jarang menyambangi rumah. Di akhir cerita, dia membuatku begitu merasakan empati kepada adik yang diceritakannya dan sedikit merasakan ketidakberesan dengan semasa hidup almarhum kakak iparku. Ah, tapi sudahlah, tidak baik mengungkit-ungkit orang yang sudah tidak ada. Pikirku.

***

Ketika aku menyerahkan segelas susu itu kepadanya, dia menggeleng.
No, Uyik. Diaduk like this!” Eiffel merebut sendok dari tanganku kemudian mengaduk-aduk air susu di dalam gelas tanpa henti.
Okay. That will do. All right, that’s it! Eiffel?”
Eiffel terus mengaduk.
“Eiffel, can you hear me? Eiffel! Eiffel, no!” seruku sambil menggeser gelas agar dia berhenti mengaduk. Tapi apa yang aku lakukan justru membuat sendok yang dipegang Eiffel terlempar ke lantai.
Aku buru-buru mengambil sendok itu dan memasukkannya lagi ke dalam gelas. Aku penganut teori ‘belum lima menit’ dari iklan pembersih lantai. Sehingga aku pun menyodorkan gelas itu lagi ke arah Eiffel.
“Gak mau, dirty...belum dicuci...cacingan, Uyik...sakit perut...” Eiffel menggeleng-geleng.
I told you, but you didn’t listen. And now, do you see that?” ujarku. “Sendoknya jatuh. Uyik Una enggak mau bikinin lagi, karena Ef enggak mau dengar.”
Dia menggambil gelas susunya dari tanganku. Lalu melepaskan gelas plastik itu dari tangannya hingga air susu itu tumpah menggenang di lantai.
Gigi-gigiku bergemeletuk. Ingin rasanya aku mengayunkan tangan yang telah terkepal. Tapi aku mengurungkannya, berpikir bahwa lebih baik aku menghela nafas dan mengurut dada.
“Uyik Una enggak suka!” seruku sambil beranjak meninggalkannya.
Aku menutup pintu kamarku. Melemparkan tubuhku ke atas kasur lalu menopang daguku dengan bantal.
Ini adalah yang pertama kalinya aku menunjukkan kemarahan kepada Eiffel. Sekaligus yang pertama kalinya juga Eiffel menunjukkan kenakalan yang tak terduga. Aku berdoa agar tidak terjadi yang kedua kalinya, ketiga, keempat dan seterusnya. Tidak, aku mohon.
Aku menundukkan kepalaku, bertanya kepada bantal apa yang telah aku lakukan.
Ketika tanganku baru saja ingin menekan nomor kontak Auddry di ponselku, pintu kamarku tiba-tiba diketuk. Aku mengaduh sebelum akhirnya membukakan pintu.
Mama berdiri di depan pintu sambil menggandeng Eiffel. “Dia pengin kamu yang teleponin daddy-nya. Dia enggak mau Mama yang pencet teleponnya.”
“Uyik Una, would you call him up right now?” tanyanya sambil melingkarkan tangannya ke lenganku. Melihat matanya, aku tak sanggup.
Aku menelepon dengan ponselku. Pada nada sambung kedua, telepon langsung diangkat. Aku segera menyerahkannya kepada Eiffel.
Helloo...yaa...umm, ya...what are you doin’? Okay...ow, ya!” Eiffel berjalan mondar-mandir sambil menaruh tangan kirinya di atas pinggang, sementara tangan kanannya menempelkan ponsel di kuping. “Yes I do...main ama Uyik Una...yaaa...ama Granny...yaaa...I love you daddy...sudah ya...Ef feels so sleepy, bye daddy!”
Eiffel mengucek mata sambil menyerahkan ponsel kepadaku dalam keadaan masih bersuara. Aku terpaksa mematikannya saat suara Rajendra masih terdengar karena Eiffel mendorong ponsel itu lalu menarik tangan Mama, mengajak pergi tidur.
Aku menutup pintu kamarku lagi. Duduk di pinggir tempat tidur, memencet nomor Auddry, dan mendengar nada sibuk. Aku me-redial nomornya, dan terdengar nada sibuk lagi. Aku melemparkan ponselku ke atas kasur, dan ponselku berdering.
“Hallo. Lagi apa, Sayang?” tanyanya.
“Lagi sibuk nelepon ke nomor kamu, tapi kena nada sibuk mulu.”
“Ya tuhan. Oh ya?”
“Ya, kita saling menghubungi. Saling punya pikiran untuk menghubungi.”
“Haha. As usual, aku enggak bisa tidur. Berharap kamu juga enggak bisa tidur. Sama-sama enggak bisa tidur karena saling memikirkan. Doaku terkabulkan. Thanks God...”
“Tapi aku enggak sedang mikirin kamu...”
“Lalu?”
“Mikirin kita berdua...”
Yeah, that’s what I’m saying. Apa kabar Eiffel?”
“Hari ini aku agak ribut sama dia. Ya abisnya...” tiba-tiba aku melihat Mama membuka pintu kamarku. “Sayang, talk to you later ya...kayaknya Eiffel rewel lagi. Love you,” aku menutup teleponku.
“Luna, tolong kamu turun ke bawah. Mama enggak ngerti maksudnya Eiffel,” kata Mama.
Eiffel menangis di tempat tidurnya sambil merangkul ketiga bonekanya.
Hey, Ef. Kenapa? Ef minta apa?” tanyaku.
Dia meninggikan nada tangisnya, kakinya menendang-nendang selimut di atas  tubuhnya.
Please tell me, what do you want. Ef lapar? Ef haus? Ef mau minum susu?”
Dia menggeleng-geleng sambil menambah jeritan tangisnya.
“Ef sakit? Mana yang sakit?” tanyaku sambil memegangi leher, tangan, kaki, dan perutnya. Mungkin digigit semut. Pikirku. Tapi dia malah menendangku.
“Ef, Granny sama Uyik enggak bakalan ngerti kalau Ef cuma nangis jerit-jerit.”
Dia menarik tanganku.
“Iya, apa? Bilang, talk to Uyik Una. You just talk to Uyi Una or Granny.”
Dia malah membanting-banting tanganku.
 “What is it? Now, what!” bentakku.
Dia melepaskan tanganku, mengusap kelopak matanya sambil cegukan.
Okay, kalau Ef tetap nangis kayak gitu, enggak ada yang suka sama Ef! Uyik dan Granny mau pergi aja!” kataku pura-pura beranjak.
Eiffel menegakkan badannya lalu menarik kedua tanganku. “Telephone. Telephone.”
“Apa? Telpon daddy?
Eiffel manggut-manggut.
“Maksud kamu itu apa sih, Ef? Gitu aja enggak mau bilang,” gerutuku.
Aku memencet nomor ayahnya di daftar panggilan. Aku harus mengulang menekan nomornya karena tidak ada jaringan. Aku menunggu hingga sinyal jaringan penuh. Beberapa saat kemudian, panggilanku berhasil masuk. Seperti biasanya, aku langsung menyerahkan telepon kepada Eiffel. Tapi tak tahu kenapa, dia langsung mendorongnya ke arahku. Ketika aku menjejalkan ke arahnya lagi, dia marah sambil memukul-mukul kakinya.
Sial. Aku harus berbicara dengan Rajendra.
Ya, hello, Sweetie?” sapanya.
“Oh, bukan. Ini Shalu,” sahutku.
“Oh, maaf. Ada apa, Shalu?”
“Barusan Eiffel minta telepon, tapi dia enggak mau bicara. Dia juga agak rewel, kenapa ya? Enggak tahu sebabnya apa.”
“Mau minum susu, mungkin?”
“Enggak.”
“Bonekanya dimana?”
“Lagi dipeluk sama dia.”
“Atau habis mimpi?”
“Enggak, dia belum sempat tidur.”
“Oh. Apa ya? Ya biasanya dia nangis karena hal-hal kayak gitu. Oh, coba, aku ngomong sama dia.”
Aku menyodorkan telepon ke arah Eiffel lagi. Dia mulai heboh lagi. Aku segera menjauh dengan gagang teleponku.
“Enggak, dia enggak mau.”
“Apa setiap malam dia kayak gitu?”
“Kayaknya ini yang paling parah. Biasanya dia cuma susah disuruh tidur. Tapi barusan dia nangis jerit-jerit tanpa sebab.”
“Oh, maaf ya, jadi ngerepotin semuanya.”
“Enggak, maksudku enggak kayak gitu. Aku enggak sedang bilang kalau kami semua di sini direpotkan. Dia anak kandung kakakku. Tapi dia lama tinggal bersamamu, jadi kami enggak tahu kebiasaannya kayak apa,” kataku. Aku sadar kata-kataku itu agak menyinggung perasaan. Terutama kata-kata ‘Dia anak kandung kakakku’ yang seolah-olah mengingatkan hubungan yang sebenarnya antara dia dan Eiffel. Karena aku sendiri juga tersinggung ketika dia mengucapkan kata maaf yang menurutku tidak tepat untuk diucapkan. Kata maaf itu terdengar seperti seolah-olah kami adalah orang asing bagi Eiffel, pengasuh bayaran atau tempat penitipan anak.
Kami pun saling diam di ujung telepon begitu lama. Aku tidak tahu harus membicarakan apalagi. Aku memutar kepala untuk melihat Eiffel. Dia duduk tak bersuara sambil mengawasiku dari tempat tidurnya.
Okay. Kayaknya sekarang Eiffel udah baikan,” kataku.
“Oh ya, salam buat Granny. Maaf kalau malem-malem Eiffel suka gangguin orang. Besok aku telepon lagi, aku akan bicara sama Eiffel.”
“Ya, enggak masalah. Sementara gitu dulu, makasih,” aku menutup telepon tanpa menunggu jawaban di seberang. Entah kenapa aku tidak suka dengan kata maafnya.


My Hunny Bunny Berry
Masih dengan mata terpejam, aku menangkupkan bantal ke wajahku dan menguap. Sebenarnya aku ingin meneruskan tidurku paling tidak setengah jam lagi. Tapi tiba-tiba rongga hidungku disengat bau bawang goreng bercampur pedas cabe dan merica yang harum. Aku memutuskan membuka mata dan bergegas turun dari tempat tidur.
Benar saja, ketika aku sampai di tangga, aku melihat pemandangan gaduh di dapur. Seseorang dengan rambut mohawk mengenakan celemek, di sampingnya berdiri gadis kecil yang tampak ribut dan terus bergerak.
Is really that you?” tanyaku tak percaya.
Dia berbalik ke belakang bersama bala kecilnya.
What are you all doing there? Oh my god,” aku rasa mataku sedikit berkaca-kaca.
Oh, Hunnie Bunnie...what is that?” Aku terperangah melihat meja makan yang telah berisi piring-piring dan sendok yang tertelungkup rapi, semangkuk potongan buah, beberapa gelas susu kedelai yang masih berkepulan, dan sepiring besar nasi goreng bertumpuk irisan telur dadar yang berhias daun selada, potongan tomat dan acar mentimun.
Auddry membuka celemeknya dengan gerakan yang seksi. Membuka talinya pelan-pelan, dan dengan mengagetkan, dia mengebutkan kain celemek seperti seorang pesulap membuka kacu ajaibnya.
Aku tertawa bersama Eiffel.
Welcome, My Queen...and My Little Princess, here you are,” katanya sambil mengangkat tubuh Eiffel ke atas kursi.
“Kalian berdua yang menyiapkan semuanya?” tanyaku.
Auddry melakukan toast dengan Eiffel.
Oh, Dear Lord!” kataku.
Kami menengadahkan kedua tangan sambil membaca doa sebelum makan seperti yang diajarkan di bangku TK. Eiffel begitu menyukai ritual itu dan meminta Auddry mengulangnya berkali-kali. Menyuruh semua orang tetap menengadahkan tangannya, tidak boleh memegang sendok, dan menangis jika orang melanggarnya.
“Eiffel, Tuhan Maha Mendengar. Kau tak perlu membaca doa berulang-ulang seperti itu. Cukup satu kali, Dia sudah mendengarnya. Jika kita mengulang-ngulangnya terus, itu justru terdengar berisik bagi-Nya,” kataku kesal mendengar rengekannya yang mulai berisik.
Little Mama...” ujar Auddry sambil berkedip ke arahku, mencoba menetralkan emosiku.
“Maaf, Hunnie...” kataku, menyesal karena telah membuat suasana tidak enak dan nyaris membuat berantakan acaranya.
“Aku tahu kok ini tanggal berapa,”  katanya sambil mengerling. Ya, dia hafal jadwal ‘lagi dapet’-ku karena dia sering menjadi korbannya.
Karena pertimbangan itulah dia membuat kejutan seindah itu pagi ini. Karena di ‘tanggal-tanggal merah’ itulah aku biasa bangun lebih siang sehingga dia bisa menyiapkan sarapan pagi ketika aku masih memeluk guling.
“Gimana?” tanyanya ketika sesendok nasi goreng itu masuk ke dalam mulutku.
Sexy food!” seruku. Bagiku, enak atau tidak, tak ada bedanya. Nasi goreng itu akan tetap seksi selama dia yang memasaknya.
Sementara aku menyuapi Eiffel, dia menyuapiku.


Email me at novrats@gmail.com to get the complete Bunnyberry :)




No comments:

Post a Comment

Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)