HOME | ABOUT | WHAT'S ON MY BOOKSHELF | MOMENTS OF MINE | MY FUN TRIVIA | MY TRAVELOGY | FREEBIES | SNEAK PEAK | MY TWO CENTS | MY LINKS | FAQ

LOSS MEETS LOVE


Loss Meets Love
a Short Story by Nobie

So much hurt, so much pain
Takes a while to regain
What is lost                          
Aku melepaskan earphone yang terselip di kedua telingaku. Entah telah keberapa kalinya aku memutar lagu Sabrina Orial itu selama setahun terakhir ini. Ya, setahun ini aku terus ditimpa kehilangan berturut-turut. Ini adalah yang kesekian kalinya aku kehilangan hal terpenting dalam hidupku. Aku telah kehilangan cita-cita dokterku, cita-cita terbesarku, setelah tiga kali berturut-turut aku tak lolos ujian masuk. Aku kehilangan Andrew, kekasih yang mencampakkanku tanpa alasan yang jelas lalu pergi ke Belanda. Dan sekarang aku kehilangan kamera pocket Olympus-ku. Tidak hanya karena kamera itu baru aku dapatkan dari jerih payah pekerjaan fotografi di sela-sela kuliahku tapi juga foto-foto di kamera itu sangat penting bagiku. Di sana tersimpan foto-foto terakhirku dengan Andrew yang selalu kuratapi setiap malam hingga tertidur, foto-foto di Kawah Putih yang baru saja ingin ku unggah ke blog, serta foto-foto untuk lomba fotografi yang berhadiah jalan-jalan ke Venesia. Susah payah aku mengambilnya dari puncak Bromo dan begitu tak sanggup mengingat bahwa foto-foto itu sempat mendapat pujian Poppy, rekan fotografer seniorku yang pelit pujian itu. Aku belum memindahkan semuanya ke laptop. Hilang sudah semua cita-citaku, cintaku, dan kesempatan karier yang baru aku bangun. Tiga hal yang menjadi jantung hidupku.
Semuanya berawal di sebuah terminal. Alur kronologisnya begitu jelas di ingatanku. Malam itu aku baru tiba dari perjalananku mengambil foto di Bromo. Malam telah larut, di atas pukul 9 malam. Sehingga aku memutuskan naik bis kota ekonomi karena bis Damri patas kemungkinan sudah tidak beroperasi.
Aku sempat merutuki keadaan bis ekonomi yang kududuki. Aku sangat tak nyaman dengan aroma di dalam bis yang bau rokok, bau besi karatan, kecoa, panas, serta pemandangan yang tak sedap dari papan-papan tripleks di seluruh dinding bis yang lapuk. Apalagi bis tidak juga segera berangkat karena penumpang belum penuh. Tapi tiba-tiba seorang pengamen dengan petikan gitarnya menyembul begitu saja di depan bangkuku seperti pangeran penyelamat, mengubah suasana hatiku.
Dahiku berkerut keheranan. Kaus buluk nan kucelnya sangat kontras dengan mukanya. Posturnya menjulang, kulitnya bersih, wajahnya mirip antara perpaduan Marcel Chandrawinata dan sedikit Edward Cullen. Gila, kenapa dia tidak jadi artis saja. Pikirku. Dia menyanyikan lagu Ku Ingin Kau Tahu-nya Adrian Martadinata dengan suara tenor yang merdu. Entah karena aku hanyut akan lagunya, suaranya atau tampang prince charming-nya, dia membuatku mengeluarkan tas kecil dari travel bag. Karena di sana aku menaruh uang-uang kembalian ketika aku berbelanja souvenir di Bromo.
Aku menarik dua lembar ribuan lalu menaruh tas kecil itu di pangkuanku. Tak lupa, aku pun memindahkan semua uang cash di dalam dompet ke dalam tas kecil karena zipper dompetku macet.
Aku menatap wajah itu sebelum akhirnya melemparkan wajahku ke jendela. Tak sadar, aku pun memejamkan mata menikmati suaranya yang kuat namun lembut membelai telinga. Benakku membayangkan betapa romantisnya jika lagu itu dinyanyikan hanya untukku di atas sebuah rooftop, di malam hari, dikelilingi lilin-lilin yang berkedip-kedip.
Oh, stop! Aku menghentikan khayalan bodohku dan menoleh. Pengamen itu tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

Dia melepas topinya dan menyodorkannya ke arahku. Aku menjatuhkan dua lembar ribuan ke dalam topi sementara mataku bertabrakan dengan matanya hingga saling mengunci beberapa saat. Tidak berapa lama setelah tatapan itu, aku melihat bis Damri patas sedang masuk di jalur sebelah. Aku pun buru-buru bangkit, berlari menuruni bis ekonomi, berganti ke bis ber-AC itu.
Aku masuk ke dalam bis yang baru dengan perasaan lega, aku memilih duduk paling depan dan di pinggir jendela seperti anak TK. Sempurna. Batinku. Tapi saat aku ingin menyiapkan uang karcis, aku teringat bahwa aku belum memasukkan tas kecilku ketika di bis ekonomi tadi. Benar saja, aku masih menaruh tas kecil itu di pangkuanku dan tentu saja tas kecil berisi kamera dan semua uangku itu terjatuh ketika aku berdiri. Aku menepuk kepalaku lalu berlari menghampiri jalur bis ekonomi lagi. Tapi sial, bis itu sudah pergi. Aku pun mendatangi pos terminal, petugas di sana mengecek barang itu melalui handy talky. Dan mereka berkata bahwa barangku sudah tak berbekas. Aku lunglai. Pengamen yang kutemui telah menghipnotisku. Mungkin wajah yang kulihat tadi tidak setampan Edward Cullen atau suara yang kudengar tadi tidak semerdu di telingaku. Dia telah menghilangkan kesadaranku. Damn! Aku kecopetan!
***
So I won’t give up
No I won’t break down
Sooner than it seems life turns around       
Aku menutup notepad-ku dengan hati yang lebih plong sambil terus mendengarkan lagu Someone’s Watching Over Me milik Hilary Duff dari radio boom box-ku. Yang kuperlukan hanyalah mengikhlaskan apa yang telah hilang. Aku mengikhlaskannya seperti aku mengikhlaskan Andrew dan cita-cita dokterku. Aku mengikhlaskan semuanya. Semoga
apa yang telah hilang bermanfaat bagi orang yang benar-benar membutuhkannya. Dan aku akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Aku rela menukar semua itu dengan ‘yang lebih baik’. Mengapa tidak. Setelah sempat mandeg di titik terbawah, roda kehidupanku akan berputar kembali. Aku akan memotret lagi, tersenyum lagi, dan semuanya terasa indah lagi.
Mataku menerawang membentur angka-angka di kalender. Hari ini 27 Juni.
Seharusnya hari ini aku melihat pengumuman pemenang. Aku yakin, jika aku mengirimkan foto-foto itu, namaku pasti tertera di sana. Ah, sudahlah.
Aku mengambil kamera milimeter lamaku dan pergi ke luar sendirian. Menaiki tracker bus House of Sampoerna dan memotret gedung-gedung tua di sepanjang Tunjungan, Jembatan Ferwerdabrug dan pemandangan di sekitar Kalimas. Perasaanku pun lebih tentram. Sepulang dari House of Sampoerna, aku mampir  ke Plaza Surabaya, awalnya aku berniat makan siang di restoran steak. Tapi aku pikir, tabunganku kini sudah di ambang batas karena acara travelling penuh bulan ini dan uang cash yang hilang kemarin. Aku rasa sudah saatnya aku menjalani hidup sederhana. Aku memutar langkah kakiku, menghampiri kakek renta penjual kerupuk sermier di bawah jembatan penyeberangan, menukar sebungkus kerupuk dengan uang sejumlah harga makanan yang tadinya ingin kupesan di restoran steak.
“Ini kebanyakan, Nak...” kata si kakek terkejut.
“Buat bapak saja kembaliannya...” kataku sambil memulas senyum di bibir. Melihat wajah penuh syukur si  kakek, perasaanku diterpa kebahagiaan tiada tara.
“Ya Allah, Gusti...” pekik si kakek. “Mugi-mugi jenengan tansah pinaringan rizkinipun gusti...pun, pokoke sedaya rizki. Rizki lek ngilmu, rizki pegaweane, rizki sehat, rizki jodo, rizki sembarang-barange nggih, Nak...” si kakek berkomat-kamit dengan rentetan kata-kata doa dalam bahasa Jawa Krama Inggil yang hanya lamat-lamat bisa kupahami di telingaku. Aku mengamini sambil membungkuk-bungkuk pamit.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Dari Poppy.
Nau, gila lo! Tuh di majalah nama lo?
Aku me-reply pesan dengan garukan kepala.
Apaan?
Baru saja aku mengalihkan pandangan dari layar, ponselku bergetar lagi.
Lo blm liat? Foto-foto lo menang liburan ke Venice! Gila lo!
Ada-ada saja. Batinku. Tapi aku iseng membuka website lomba melalui ponselku. Aku terlonjak melihat barisan huruf berbunyi namaku di headline. Naurah Said. Dan salah satu foto yang aku ambil terpajang di sana. Aku menggerakkan tombol zoom. Aku melihat salah satu fotoku sendiri dalam balutan knit, berdiri di antara remang-remang sinar yang menerobos kabut dengan mata smokey menatap sunrise.
Aku pun menelepon ke nomor hotline penyelenggara lomba, menanyakan email dan nomor telepon orang yang mengirimkan foto-fotoku tapi mereka tidak mau memberitahuku karena alasan-alasan privasi. Aku berkeras bahwa foto-foto itu milikku. Mereka pun mengusulkan jadwal pertemuan di kantor sekretariat. Keesokan harinya, aku berangkat ke Jakarta ditemani Poppy. Dan aku tidak tahu skenario tuhan apa yang sedang terjadi padaku. Sesampainya di kantor sekretariat lomba, aku malah bertemu cowok pengamen itu. Tidak lagi dengan kaus buluk compang-campingnya. Tapi dengan balutan kemeja cokelat tua dengan lengan digulung dan celana washed jeans serta bau yang sangat wangi.
“Hilmar...” katanya sambil mengangguk saat berdiri tepat di depanku.
Mulutku hanya menganga. Sedangkan Poppy hanya berdiri menopangkan sikunya di meja administrasi sambil menatapku dengan isyarat-isyarat yang tak kumengerti.
“Selamat, Naurah...” lanjutnya sambil mengerling. Dia mengangkat sebuah benda hitam berlensa di tangannya.
Kameraku. Saking girangnya, tanpa sadar, aku meloncat hendak memeluknya.
“Oh, ya tuhan, maaf...” aku buru-buru memperbaiki posisi berdiriku. “Terima kasih, kau menyelamatkannya. Tapi...aku masih enggak  ngerti. Gimana bisa? Kamu...”
“Kita tinggal di resort yang sama ketika di Bromo. Kau mungkin enggak sadar aku selalu memperhatikanmu setiap kita sarapan pagi. Kedengarannya bodoh, tapi aku enggak tahu kenapa aku seperti itu. Seolah takdir tuhan menuntunku, hingga aku tergerak ngikutin kamu sampai Surabaya. Padahal seharusnya aku pulang ke Bandung. Gila, ya, haha. Aku bahkan tukeran kaos sama pengamen hanya karena ingin membuat perkenalan yang aku kira akan romantis dan berkesan. Tapi, yah, gagal, tiba-tiba kamu buru-buru pergi. Tapi aku enggak nyangka kamu menjatuhkan kamera ini. Foto-fotomu keren. Jadi aku up load foto-foto itu atas nama kamu. Ah, ya tuhan, aku hanya tahu namamu Naurah Said dari buku tamu di hotel, aku enggak tahu alamat dan nomor teleponmu, tapi tuhan mempertemukan kita dengan berbagai cara jika memang sudah takdirnya. Tuhan benar-benar mempunyai rencana yang tak bisa kita sangka-sangka...”
Aku membiarkannya berbicara sendiri hingga dia berhenti. Kami berdua berdiri berhadapan dengan kepala saling menunduk. Hingga tepukan tangan Poppy membuyarkannya. Lalu kami tertawa bersama seolah-olah kami pernah tertawa seperti itu beberapa abad yang lalu. Entah mengapa aku merasa kami seolah-olah seperti sepasang orang yang pernah saling terpisah kemudian dipertemukan kembali. Aku merindukannya walau kami belum pernah bertemu sebelumnya. Mungkin takdir sudah mempertemukan hati kami jauh sebelum kami berdua dilahirkan.
***
Semenjak ada dirimu, dunia terasa indahnya
Semenjak kau ada di sini, ku mampu melupakannya
Semenjak ada dirimu, semua terasa indahnya  
Semenjak kau ada di sini, tak ingin melepaskanmu
“Sayang, duduklah di sana,” katanya sambil menunjuk sebuah bangku di dalam boat. “Aku akan memfotomu dari sini.”
Aku melepaskan earphone-ku. Hilmar, bagiku seperti setiap bait lirik lagu milik Andity itu. Dia anugerah terbesar dalam hidup yang tuhan kasih buatku setelah kehilangan-kehilangan itu. Jika saja aku tahu gantinya semanis dia, aku pasti sudah mengikhlaskan kehilangan-kehilangan itu dari dulu-dulu. Percayalah, Tuhan akan mengganti setiap kehilangan dengan sesuatu yang lebih baik. Kau hanya perlu mengikhlaskan semuanya.

2 comments:

  1. Baguus, bahasanya mengalir, ikut deg2an pas ada sms fotonya menang :D
    Btw, Kawah Putih setauku identik dg Kawah Putih Bandung, yg dimksd dsni yg di Bromo ya?

    ReplyDelete
  2. Halo, thanks a ton udah baca:) betul sekali, yg dimaksud Kawah Putih di Ciwidey, Bandung. Ini ceritanya Naurah Said lagi road trips dari destinasi2 wisata di jawa barat ke jawa timur hihihi:)

    ReplyDelete

Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)