Twin Light
a Short Story by Nobie
We are twin. Kita selalu menyukai hal
yang sama. Kamu suka roti rasa banana,
aku juga. Kamu suka Suju, aku pun begitu. Kamu suka beef teriyaki, aku apalagi. Kita satu hati.
Orang bilang, muka kita kayak fotokopian. Satu
anugerah terbesar dalam hidup kita sehingga kita bisa gantian absen masuk
kelas, tukeran KTP atau KTM dan nggak perlu bikin SIM dua, cukup satu untuk
kita berdua. Nggak akan pernah ada orang yang bisa membedakan kita kecuali
Mama. Papa saja sering salah tebak sama kita berdua. Yah, mungkin karena memang
Papa jarang berada di rumah. Tapi kita berdua memang sulit dicari perbedaannya.
Sampai-sampai kita berpikir apakah kita berdua ini hasil kloning ya? Untungnya
kita belajar di jurusan yang berbeda, kalau nggak, kita pasti nggak bisa
gantian bolos buat ikut lomba fotografi. Ah, kita benar-benar mempunyai
persamaan dalam segala hal. Mulai dari rambut sebahu kita yang ikal, gaya
berpakaian kita yang suka pakai layer,
selera musik dan film Jepang dan Korea, Siwon idola kita hingga Detektif Conan.
Sebenarnya apa sih bedanya kita? Kita
beda sembilan menit waktu lahir. Makanya kamu dikasih nama Jeanine, karena kamu
lahir sembilan menit setelah aku, Jeania. Jadi nama panggilan kita cuma beda
huruf ‘N’. Kamu Jean. Aku Jea. Dan semua orang selalu tertukar memanggilnya.
***
We are twin. Kita selalu menyukai hal
yang sama. Kamu suka roti rasa banana,
aku juga. Kamu suka Suju, aku pun begitu. Kamu suka beef teriyaki, aku apalagi. Karena kita saudari yang saling menyayangi.
Kita saling menyayangi seperti sepasang belahan hati.
Kamu sedih, aku sedih. Kamu sakit, aku sakit. Kamu terluka, aku pun pasti
terluka. Jadi
aku tak pernah membiarkanmu tersakiti, Jean, Adikku...karena itu sama saja
dengan menyakiti diriku sendiri.
Masih terngiang saat kamu menarik-narik lenganku.
Ketika aku menoleh, kamu bilang, “Jea, kamu liat nggak cowok sebelah sana
sendiri?”
“Sebelah yang mana?” tanyaku.
Jarimu lalu menunjuk ke sana, ke sebelah sana. Bangku
di sebelah pojok di mana seorang cowok duduk di sana sambil menyesap frappucino-nya.
“Cakep banget, ya,” katamu. Kamu tak pernah memuji
cowok jika kamu tak benar-benar menyukainya. Jadi, kamu pasti menyukainya
setengah mati hingga kamu tambahkan kata ‘banget’ di sana.
Itu Valde namanya, Jean. Aku bertemu dengannya saat
pameran foto di kampusku. Saat itu, tiba-tiba saja dia menyembul di depanku.
“Foto jelek ini
punyamu?” tanyanya sembarangan pada foto jendela retak yang kuambil di Semarang
bersamamu dulu.
“Ya, kenapa?!” jawabku sambil merutuk kesal di dalam
hati. Kenal saja tidak, sudah berkomentar kurang ajar.
“Pemandangan jelek seperti ini bisa kau tangkap dengan
sangat bagus. Aku suka komposisi warna dan pola yang terbentuk. Unik sekali.
Bagaimana kau bisa?”
Kurasa mukaku saat itu berubah menjadi pink. Tapi
belum sempat aku merubah warna mukaku dan belum sempat aku tahu namanya, dia
berlalu sambil memberikan isyarat dengan jemarinya bahwa kami pasti bertemu
lagi. Dan benar saja, beberapa minggu setelah itu, tak kusangka kami bertemu
lagi karena kami satu kelompok dalam sebuah lomba fotografi. Pertemuan itu
berakhir dengan kiriman berkuntum-kuntum bunga berwarna merah jambu di dalam sebuah
pot besar. Di sana tertulis: 99, Valde
untuk Jea. Cinta selamanya untukmu, Jea.
Bunga itu adalah peperangan batinku, Jean. Tapi lalu
aku memutuskan bahwa aku lebih mencintaimu. Aku menutup telinga dari teriakan
hatiku, lalu mengambil pena dan menambahkan huruf ‘N’ di sana. Jadilah tulisan
itu berbunyi: 99, Valde untuk Jean. Cinta
selamanya untukmu, Jean. Ya, Jean, untukmu. Aku pun membawa bunga itu ke
kamarmu, di mana kamu sedang terkulai lemah di atas ranjangmu. Aku yakin itu
adalah obat termujarab untuk jantung lemahmu.
Dan bahagia tak terkiranya hatiku, bunga itu
benar-benar mengobatimu. Aku bahagia, Jean. Bahagia melihatmu sehat kembali,
bahagia melihat kamu bahagia bersamanya. Aku mengikhlaskan apapun untuk
kebahagiaanmu. Karena bahagiamu, bahagiaku juga. Dan maafkan aku, De.....Tapi
apalah bedanya Jea dan Jean. Mereka berdua sama. Kamu pasti bisa menerimanya.
***
We are twin. Kita selalu menyukai hal
yang sama. Kamu suka roti rasa banana,
aku juga. Kamu suka Suju, aku pun begitu. Kamu suka beef teriyaki, aku apalagi. Segala hal pasti bisa kita cari kembarannya,
honey. Kecuali yang satu ini.
“Aaahhhh!” sebuah suara teriakan berhamburan dari arah
kamar Jean bersamaan dengan suara-suara ribut pecahan kaca.
Ketika aku sampai di kamarnya, tangan Jean sudah
berlumuran darah. Kamarnya berantakan dan semua barang di sana berjatuhan. Aku
membersihkan lukanya dan membaringkannya di atas ranjang. Berkali-kali aku
memeluk dan menciuminya.
“Ceritakan padaku,” kataku lirih di telinganya.
Jean pun bangkit untuk memelukku. “Valde mutusin aku...”
Kepalaku seketika seperti tersengat lebah.
Aku pun melepaskan pelukannya, bermaksud beranjak
pergi untuk menemui Valde. Namun sebelum sempat terlepas sempurna dari
pelukanku, tubuh gadis itu merosot jatuh. Jean pingsan. Aku berteriak panik,
tapi tak ada seorangpun di dalam rumah. Mama dan Papa sedang berada di luar
kota. Aku pun menggendongnya di atas punggungku untuk mencapai mobil yang
terparkir di halaman depan. Aku melarikannya ke rumah sakit. Dokter bilang
bahwa keadaannya sangat lemah, beberapa menit saja aku terlambat membawanya ke
sana, mungkin nyawa Jean sudah tak tertolong lagi.
***
“Jahat, kamu, De!” teriakku sambil mendorong tubuhnya.
“Keterlaluan, kamu!”
“Jea.....” Valde meraih tanganku.
Aku melayangkan tamparan ke wajahnya. Baru sekali ini
dalam seumur hidupku aku melakukan gerakan serefleks itu. Dan aku tak percaya
telah melakukannya. Apalagi kepada orang yang aku cintai.
“Aku sudah memberitahumu bahwa Jea mengidap kelainan
jantung. Kamu nggak sadar baru saja hampir membunuhnya? Sekarang Jean di rumah
sakit. Kalau terjadi apa-apa sama dia, aku nggak akan pernah bisa maafin kamu!
Kamu nggak punya hati, De!”
“Aku?” protesnya. “Nggak, Jea. Tapi dia yang nggak
akan bisa maafin kamu!”
Ucapan Valde bagai belati yang melesak jantungku.
Dadaku sesak. Rasa sesal dan salah yang baru kusadari mendesak. Meluap. Tumpah,
membasahi kedua mataku.
“Kamu yang memulainya. Kamu telah mencoret kenyataan
yang terjadi dan membawa goresan palsu kepadanya. Kamu yang nggak punya hati,
Jea. Aku merangkai bunga dan
menggoreskan tulisan itu dengan sepenuh hati, lalu begitu saja kau
mengubahnya.”
“Aku nggak tega lihat adikku, De...aku hanya ingin
meminta bantuanmu...” aku tertunduk.
Valde menegakkan wajahku. “Apa yang tampak bisa kau bohongi,
tapi apa yang tak tampak tak bisa kau hindari,” Valde memukul dadanya. “Aku
mencintaimu, Jea. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu mau membunuhku demi
dia?”
“Dan kamu ingin aku membunuhnya? Hubungan kita adalah
pisau pembunuhnya,” dan aku pun berlari meninggalkannya.
***
Tiga tahun pun berlalu...
“Jea, kamu lihat cowok yang lagi duduk di sana?”
Aku menoleh panik. “Mana, mana?”
“Itu, yang pake kemeja garis-garis. Pangeran tampan
ya...” katanya.
Ya, puji syukur, Jean, adikku masih hidup. Setelah
hampir setahun dia mengalami kritis, bahkan aku hampir kehilangan harapan
ketika menemui tubuhnya dipenuhi selang dan tak pernah bangun selama tiga
bulan. Dan sepanjang itu pula aku tidur di ruangan ICU-nya.
Kini kami tinggal di Jepang, kami berdua pindah studi
ke Jepang, pergi jauh untuk meninggalkan bayang-bayang Valde. Jean kini sudah
bisa jatuh cinta lagi. Dengan pangeran berkemeja garis, cowok bersepeda dengan
kacamata hitam, atau cowok bersyal merah dengan mata permen. Tapi kini aku tak
bisa jatuh cinta lagi. Hanya Alvadean Seputra di hatiku. Dan entah di mana dia
sekarang.
No comments:
Post a Comment
Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)