HOME | ABOUT | WHAT'S ON MY BOOKSHELF | MOMENTS OF MINE | MY FUN TRIVIA | MY TRAVELOGY | FREEBIES | SNEAK PEAK | MY TWO CENTS | MY LINKS | FAQ

SEMILIR RINDU UNTUK LEOFAR


Semilir Rindu (Bismar dan Kemuning)
a Short Story by Nobie  



Kemuning
Jane mencolek punggungku. “Moni, lu coba nengok ke sana. Yang sebelah sanaan dikit, yang warna silver. Lu tau enggak nama pohon itu apaan?”
“Enggak, apa?”
“Bismar...”
“Apa?” tanyaku mengulang, tak percaya.
Jane memberitahuku sekali lagi. “Bismar.”
Dadaku bergemuruh. Oh, benarkah pohon palm itu?
“Berdiri gagah, menjulang, perkasa...memikat, penuh pesona dan tak tergapai. Sungguh, kalau orang, dia ganteng banget...” gumamnya.
“Apa maksudnya dengan tak tergapai?” tanyaku bersungut. Entah mengapa, kata itu menyengat perasaanku. Aku tersinggung.
“Iyalah, mana bisa kantong gue menggapai harga pohon itu? Tapi gue pengin banget deh, naruh pohon itu di depan kamar gue,” jawab Jane. Lalu aku tersadar bahwa Jane tidak bermaksud apa-apa. Selama ini dia hanya terobsesi menanam pohon keberuntungan di depan kamarnya yang menghadap ke jalan. Dan mungkin dia tak salah jika menjatuhkan pilihan pada pohon emas itu.
“Emang harganya berapaan?” tanyaku.
“Mahal gila. Lima puluh juta, bo!”
“Enggak mahal-mahal amat.”
“Gila lo!”
“Segala sesuatu, selama masih bisa dinilai dengan uang, berarti bukan sesuatu yang mahal. Mahal itu jika tak ternilai harganya,” nasihatku. Aku tak suka kebiasaannya yang selalu menilai segalanya dengan uang. Termasuk cowok-cowok tajir yang dipacarinya. Aku rasa dia mungkin jatuh cinta dengan apa yang disebut harga secara harfiah, bukan nilai yang terkandung di dalamnya.
“Enggak,” potong Jane. “Menurut gue, mahal itu jika tak tergapai. Tapi kita bisa naik tangga yang lebih tinggi untuk menggapainya.”
Tak tergapai. Ah, ya, Jane memang selalu merasa tertantang dengan tipe-tipe cowok tak tergapai. Tak terkecuali dengan pohon yang tak tergapai itu. Aku melemparkan tatapanku pada pohon palm berwarna silver yang melambaikan jari-jari daunnya di depan sebuah rumah megah yang mencontek gaya abad kekaisaran itu.
Sesuatu yang tertiup di dalam hatiku kembali bergemuruh. Dan lambaian Bismar mengembuskan berliuk-liuk rinduku padamu, duhai kamu yang tertanam di hatiku. Kau yang telah tertanam kuat. Hingga mengakar. Tapi tak bisa kugapai ujungmu. Kamu, Bismar. Ya, Bismar.
Semilir rindu tak berujung. Ah, Bismar...ku harap kau mendengar.

Bismar
Semilir rindu pun bertiup. Sesepoi angin yang membawa wanginya. Ah, kemuning. Ku hirup kuat-kuat wangimu. Hingga aku melayang bersama bayangmu.
What are you doing there?” teriak sebuah suara membuyarkan bayanganmu.
Dia merenggutmu dari genggamanku dan melemparkanmu ke udara.
“Kamu apa-apaan sih!” bentaknya sambil membenahi gaun tile dari perancang yang tertiup angin. “Bentar lagi aku naik, kamu malah sibuk enggak penting di sini! Ciuman sama kembang. Kayak orang gila, tau!”
“Kamu yang enggak penting. Siapa suruh keluyuran di sini.”
“Kamu lebih enggak penting. Kesambet sama kembang enggak penting itu. Kemana-mana bawa kembang itu. Kamu mau jadi Susana? Kenapa enggak sekalian makan kembang? Biar jadi Susanto. My Love, ini adalah malam yang aku nantikan setelah bertahun-tahun. Seharusnya kamu menghargai itu. Enggak malah berdiri bodoh di sini sama bunga bodoh itu.”

Kemuning
Bodoh jika kamu meninggalkannya untukku. Dan aku tidak mungkin mengharap kebodohanmu. Karena kau tak pantas sebodoh itu.
Aku tercekat melihat halaman liputan acara fashion week di sebuah majalah yang sedang kupegang. Malam itu kau pasti berdiri di sana memberikan dukungan terbaik untuknya hingga dia berhasil menjadi sorotan utama media karena membawakan rancangan desainer papan atas tanah air. Ah...lihatlah, dia benar-benar berlian. Fere Tysha Adisty yang memukau, sukses, tajir, cerdas, pengusaha go international, model kesayangan desainer kelas atas yang sebentar lagi mungkin menyabet gelar supermodel. Ah, dia punya segalanya. Sedangkan aku gadis bodoh yang menyedihkan, kacau dan berantakan. Aku tidak ingin memperburuk keadaanku dengan berharap padamu.

Bismar
“Kamu berharap apa?” suara Fere menyentak angin.
“Berharap semuanya baik-baik saja,” jawabku tenang.
“Harapan kosong!” serunya. “Kita enggak akan pernah baik-baik saja.”
“Lalu kamu sendiri berharap apa?” tanyaku.
“Enggak ada yang bisa aku harapkan dari kamu,” jawabnya.
My Dear, really please...” aku merasa menjadi orang munafik sedunia ketika harus berlagak mengemis seperti ini padanya.
“Aku bingung, kamu memohon untuk apa?” tanyanya sembari menyunggingkan senyum konyol. Aku rasa dia baru saja berhasil menebak isi kepalaku.
“Memperbaiki...semuanya...” kataku, merasa samar dengan maksud perkataanku sendiri.
Fere menatapku, meraba kesungguhan di mataku. Lalu dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Ah, apanya yang harus dibetulin. Sinyalnya yang jelek. Mau dibetulin kayak gimana, enggak bakal berubah. Kalau dari sononya sinyalnya jelek, mending ganti kartu aja. Kita berdua udah lowbatt!”
Dan, Kemuning, wangimu memutus sinyal.

Kemuning

“Ah, damn! Enggak ada sinyal!”
Tanpa aku sadari aku telah membanting sesuatu dari tanganku. Kemudian aku terkejut melihat ponselku sudah jatuh berantakan di sekitar kakiku dan aku begitu pening melihat orang-orang yang berlalu-lalang berjalan lambat-lambat sambil menatapku aneh.
Jane memungut baterai yang terlepas dari ponselku lalu memasangnya kembali ke tempatnya. “Moni, apaan sih, lo?” tanyanya berbisik ke telingaku sambil mendorongku dengan bahunya agar segera berjalan menjauh dari keramaian.
“Devar! Gue mau telepon Devar! Dia bilang gue enggak peduli sama dia. Padahal kan ponsel gue emang benar-benar lagi bermasalah. Kayaknya chip jaringan ponsel gue rusak, jadi sms-sms dia suka enggak kebaca.”
“Terus, lo bingung?”
“Iyalah.”
“Lo pusing?”
“Banget.”
“Moni...Moni...” Jane menggeleng-geleng. “Kenapa juga sih lo harus buang-buang batere kayak gini?”
Aku mengedikkan bahu tak mengerti.
Now I tell you. You better listen. Enggak ada sinyal di antara kalian berdua. Ngapain sih lo maksain? Sinyal kalian berdua tuh di luar area. Enggak bakal ada jaringan. Kalau lo tetap pertahanin, batere lo habis sendiri. Buang tenaga, tau!”
Jane benar. Tak berguna aku memaksakan sinyal yang salah sambung. Aku telah menjejalkan sesuatu yang bukan letaknya. Aku akan merusak lebih dalam cowok tak berdosa itu jika aku tetap memaksakan lebih jauh. Aku tak bisa berlari dari kenyataan perasaanku lalu bersembunyi di balik jalinan sinyal putus ini. 
Semilir bayu memadamkan jaringan. Dan kelabatmu menyergap kerinduan. Ya, kita bertemu hanya untuk mencipta rindu. Kau tiba-tiba mengintip dari balik kubikelku di hari pertamaku bekerja sambilan di sebuah clothing line berlabel Ferleof, nama yang sudah pasti berasal dari gabungan sepasang nama yang sangat serasi: Fere dan Leofar. Kau tersenyum mengerling ketika aku menoleh. “Moni...selamat bergabung ya, kami semua tak sabar bekerja denganmu...” Kalimat itu begitu berbeda bagiku ketika semua orang di sana memberikan ucapan selamat datang yang sekedar berlalu di telinga, kau seakan memberi penjelasan bahwa aku layak mendapat sambutan yang membuatku merasa menjadi orang baru yang diperhitungkan. Lalu di malam yang tak pernah bisa kulupakan, kau memintaku berdansa Waltz di atas roof top dan aku menginjak kakimu. Puas menertawakan kebodohan-kebodohan yang kita perbuat, kita berdua masing-masing duduk memeluk lutut di atas lantai atap sambil membiarkan diri diterpa angin. Kau menunjukkan berbagai hal kepadaku. Tentang pohon palm yang kokoh menjulang, semilir angin dan kekuatan macan loreng. Kita menghabiskan hidup di atas sana hingga pagi.  
                                              
Bismar
Hingga ketika aku harus mencegah diriku untuk menahanmu. Kubiarkan kau pergi membawa serta rinduku. Seandainya kamu tahu aku punya alasan untuk semua yang telah aku lakukan padamu.
Tak pernah ingin ku melukaimu. Pun ketika aku harus melemparkan semua lembar desain yang kau letakkan di mejaku. Tak ada yang salah dengan pekerjaanmu yang cemerlang itu. Aku harus melakukannya, demi kebaikanmu. Tak ada gunanya kau cemerlang di balik nama besar kami berdua.
Aku tak menyangka sehebat itu bakat seni aktingku hingga membuatku benar-benar tampak sekokoh pohon Bismar saat kau berlalu di hadapanku, sesaat setelah kau meninggalkan sepucuk surat resign di mejaku. Tak sia-sia, aku menjadi salah satu cast film yang diputar hingga ke negara tetangga itu. Sandiwara yang sempurna. Kamu lupa tentang gesitnya gerak macan loreng? Dia sangat berhati-hati hingga semuanya tersimpan rapi. Apa yang sebenarnya terjadi tidak seperti yang kamu lihat. Kamu tertipu? Ya. Fere apalagi, dia justru menahan kepergianmu. Bahkan bertanya, apakah aku gila? Memutus mentah-mentah denyut nadi kehidupan bisnis kami? Aku benci dia memanfaatkanmu. Oh, kau belum mengetahuinya, dia lah yang menyuruhku mendekatimu, dia ingin kau menyerahkan desain-desain itu kepadaku untuk dilombakan di fashion week. Tak apa, pikirku saat itu. Karena itu sejalan dengan maksud hatiku. Ya, mendekatimu adalah maksud hatiku. Aku benar-benar melakukannya dari hatiku. Aku biarkan Fere terperosok dengan tipuannya sendiri. Lalu menyelamatkanmu dengan tipuanku.
Dia tak pernah tahu jika setangkai bunga di genggamanku itu bernama bunga Kemuning. Aku bahkan menanamnya di depan jendela kamarku. Agar aku senantiasa menikmati semilir wanginya.
Kamu tahu kenapa bunga menebarkan wanginya? Karena bayu berembus ke arahnya. 
Aku tak pernah bermaksud melukaimu, Kemuningku. Aku hanya ingin meniupkan wangimu. Dan aku bahagia, kini kau sewangi harapanku. Kini namamu sedang beranjak melampaui nama kami berdua. Nama itu kini telah disorot dimana-mana. Seperti yang tercetak di tagline sebuah majalah fashion remaja yang kubaca pagi ini: Kemuning Clothing, Seharum Nama dan Pemiliknya.   
Aku lelah berpura-pura. Badai rindu pun bertiup. Sekencang angin yang menerbangkan semerbakmu. Dimana kamu, Kemuning Putri Hamidea? Aku ingin hanyut bersama badaimu.

Kemuning
Aku masih di sini, Bismar Bayu Leofar. Masih di sini, tetap di sini, akan selalu di sini. Kan selalu ku kirimkan semilir rindu untukmu. Masihkah kau berdiri kokoh menjulang di sana? 

No comments:

Post a Comment

Don't forget to leave a comment here, it would be nice to read yours :)